REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri hasil tembakau menolak rencana pemerintah untuk menaikkan target penerimaan cukai sebesar 23 persen. Pasalnya, kenaikan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi industri dan bahkan akan terjadi pemecatan hubungan kerja karyawan dalam jumlah yang masif.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, dalam lima tahun terakhir telah kenaikan penerimaan cukai sebesar 7 persen sampai 9 persen. Dengan kenaikan sebesar itu saja, industri tembakau nasional sulit untuk berkembang dan bahkan telah terjadi penutupan pabrik serta pemutusan hubungan kerja secara masal.
"Keberatan utama yang disuarakan oleh pelaku industri saat ini adalah kenaikan yang terlampau tinggi yakni sebesar 23 persen dan bukan 7 persen seperti yang sebelumnya diumumkan oleh pemerintah," ujar Hariyadi di Jakarta, Rabu (9/9).
Hariyadi menjelaskan, pada awal 2015 pemerintah menaikkan target cukai hasil tembaku dari Rp. 120,6 triliun dalam APBN 2015 menjadi Rp. 139,1 triliun dalam APBN-P 2015. Kenaikan tersebut dilakukan untuk mencapai tambahan penerimaan yang bersifat ad-hoc. Selain menaikkan cukai, pemerintah juga menghapus fasilitas penundaan pembayaran pita cukai melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan No. 20/PMK.04/2015.
Melalui penerapan kebijakan yang dimaksud, pemerintah akan mendapatkan tambahan dua bulan penerimaan melalui mekanisme percepatan pembayaran. Pembayaran cukai rokok yang semestinya dikreditkan selama dua bulan ke depan, pada tahun ini diubah oleh pemerintah.
Khusus bagi pembayaran cukai November-Desember 2015 seharusnya dibayarkan pada Januari-Februari 2016. Akan tetapi, pemerintah meminta agar pembayaran tersebut dimajukan menjadi Desember 2015. Dengan demikian, penerimaan cukai rokok 2015 merupakan pendapatan selama 14 bulan dan bukan 12 bulan.
Menurut Hariyadi, di tengah situasi perekonomian yang sedang melemah pemerintah justru berencana mengeluarkan kebijakan yang kontra produktif. Apalagi, industri hasil tembakau menggunakan komponen dalam negeri dalam jumlah yang besar sehingga seharusnya mendapatkan perhatian dan dukungan dari pemerintah.
"Kami ingin memberikan pesan kepada pemerintah bahwa kebijakan tersebut harus ditinjau ulang, atau kita akan menghadapi permasalahaan besar di tengah situasi ekonomi yang melambat ini," kata Hariyadi.
Hariyadi menambahkan, implikasi yang dapat muncul akibat dari penerapan kebijakan ini yakni penurunan volume produksi rokok. Penurunan ini akan berdampak langsung pada pendapatan petani tembakau dan cengkeh sebagai penghasil bahan baku rokok. Selain itu, ritel dan pedagang kecil juga akan terimbas jika daya beli masyarakat masih tetap rendah.