REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Refly Harun mengusulkan pembuatan buku putih pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia oleh pemerintah sebagai bentuk penyelesaian sengketa HAM tersebut.
Buku putih tersebut, lanjut Refly, berisi pemaparan sejarah dan fakta-fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi saat peristiwa penindasan itu berlangsung, siapa saja korban dan pelakunya. "Jadi, benar-benar didasarkan pada penelitian ilmiah dan pembuatannya harus independen," ujar Refly Harun, Ahad (13/9).
Dokumen itu nantinya, kata pria yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara ini, bisa menjadi acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Adapun saat ini, kata dia, pemerintah sedang menggodok penyelesaian beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966, pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965.
Pemerintah, bekerja sama dengan berbagai lembaga, seperti Komnas HAM dan Kontras, masih melakukan kajian. Salah satu jalan penyelesaian yang dipertimbangkan adalah permintaan maaf. "Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan, maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap korban pada periode 1965--1966," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam sebuah kesempatan.
Pemerintah juga masih menimbang apakah langkah penyelesaian kasus tersebut dilakukan menurut "pro justitia" atau nonpro justitia. Terkait dengan hal itu, Refly menilai jika permintaan maaf jadi dilakukan, justru akan menimbulkan kerancuan, terutama dalam menjabarkan siapa yang menjadi korban dalam peristiwa itu.
"Jika memang mau meminta maaf, korbannya siapa dan siapa pula yang menentukan status korban atau tidak korban? Oleh karena itu, saya katakan tadi harus ada terobosan, seperti melalui pembuatan buku putih," kata dia.
Refly menambahkan bahwa pembuatan buku putih lebih baik daripada penyelesaian melalui pengadilan (pro justitia), karena selain berbiaya besar, juga tidak bisa menjamin bisa mengungkap apa yang dalam peristiwa tersebut. Pemerintah yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo sendiri, seperti yang termaktub dalam Nawacita, berkomitmen menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pada era Orde Baru, saat rezim Presiden Soeharto dan setelahnya.