Oleh: Prof. Nasaruddin Umar
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Kedua tangan kita yang selama ini menjadi andalan kita setelah diangkat langsung dilipat, seolah-olah tidak ada arti apa-apa di hadapan Tuhan. Kita laksana patung berdiri tegak tanpa kekuatan apa pun di hadapan Allah SWT atau seperti mayat yang terbujur dengan tangan yang terlipat, pertanda tidak ada daya sama sekali.
Setelah mengangkat dan melipat tangan, kita mengikrarkan doa iftitah yang sesungguhnya ungkapan batin paling tinggi kepada Allah SWT. "Sesungguhnya shalat- ku, pengabdianku, hidupku, matiku hanya untuk Allah seru sekalian alam...." Ikrar ini bisa mengangkat seseorang ke dalam suasana fana.
Apalagi kalau diawali dengan prolog shalat yang sempurna, seperti wudhu yang sempurna, menggunakan penutup aurat yang bersih dan harum, shalat berjamaah di masjid atau mushala yang karis- matik, atau di dalam shalat Tahajud di tengah keheningan malam.
Idealnya, tangan yang selalu terangkat dalam takbir ihram seharusnya menjadi khalifah dan 'abid. Untuk apa kita mengangkat tangan minimum lima kali dalam sehari- semalam jika kita tidak mampu menunjukkan perubahan total di dalam hidup.
Jangan sampai kita termasuk orang yang shalat tetapi malah divonis celaka, seperti dalam ayat: "Maka celakalah bagi orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang- orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna."
Seolah-olah ayat ini mengingatkan, wahai orang-orang yang selalu angkat tangan di hadapan Tuhan setiap kali shalat, mengapa tetap melakukan perbuatan keji dan tidak pantas? Begitu lipatan tangannya terlepas langsung melakukan perbuatan dosa dan maksiat.
Apakah angkat tangan berkali-kali tetapi sesering itu pula melakukan pelang- garan komitmen. Apakah itu tidak berarti melecehkan Tuhan? Allahu a'lam.