REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Widyastuti Soerojo menilai Badan Legislatif (Baleg) DPR tidak peduli terhadap dampak ayat kretek. Hal itu terbukti dengan masuknya ayat tersebut dalam Pasal 37 RUU Kebudayaan.
Sebelumnya, ayat kretek tidak ada ketika RUU Kebudayaan masih dibahas di Komisi X DPR. Ayat kontroversial itu baru muncul ketika draf RUU Kebudayaan masuk tahap harmonisasi di Baleg. Apalagi, belum lama ini, Baleg juga sedang membahas RUU Pertembakauan.
Dengan embel-embel 'warisan budaya', lanjut Widyastuti, kretek lantas menjanjikan profit yang luar biasa besar sebagaimana rokok. Sehingga, pemodal asing--yang kini menguasai hampir semua merek rokok--akan sangat diuntungkan bila sampai ayat kretek dipertahankan dalam RUU Kebudayaan.
Rakyat akan dimanipulasi dengan asumsi, bahwa mengisap kretek berarti menjaga kelangsungan budaya sendiri. Karena itu, dia menegaskan ada pembohongan publik di balik kepentingan untuk mempertahankan ayat kretek.
"Kalau dia (kretek) merusak, tentunya derajatnya sama dengan santet atau guna-guna. Tapi kenapa santet dan guna-guna tak masuk (ke draf RUU Kebudayaan)? Karena keduanya tak memberikan keuntungan bisnis," ujar Widyastuti Soerojo saat dihubungi, Jumat (25/9).
Momentum masuknya ayat kretek di RUU Kebudayaan, menurut Widyastuti, tak lepas dari harmonisasi draf RUU Pertembakauan di Baleg. Dia menduga kuat, dua RUU tersebut menjadi upaya sistematis dan terencana untuk menggenjot pertumbuhan industri rokok.
"Jadi kalau ini (ayat kretek) goal, legitimate, atau diterima, maka merupakan cause untuk yang berikutnya, RUU Pertembakauan, yang meningkatkan produksi rokok. Ini (ayat kretek) merupakan jalan tol untuk itu," ujarnya.