REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Ketegangan yang terjadi di Yerusalem dan Tepi Barat memicu kekhawatiran banyak pihak dimulainya gerakan intifada ketiga. Salah satu korban terakhir, bocah Palestina berusia 13 tahun yang tewas di tangan aparat Israel.
Abdel Rahman Shadi yang tinggal di kamp pengungsi Bethlehem tertembak di bagian dada, kemarin. Nyawanya tidak bisa terselamatkan kendati sempat dibawa ke rumah sakit. Sebelumnya, empat orang Israel terbunuh dalam serangan warga Palestina pada Jumat dan Sabtu, pekan lalu.
Salah satu laman depan surat kabar Israel pada Ahad dengan sederhana memberi judul "Gelombang Intifada Ketiga". Namun, sejumlah kolomnis media Israel lain cenderung lebih hati-hati menggunakan istilah tersebut.
Penyebutan intifada juga menjadi perhatian setelah warga Palestina Muhanad Halabi (19 tahun) melakukan penyerangan ke warga Israel mengaitkan aksinya dengan gerakan "intifada ketiga". Ia menuliskan hal itu di laman Facebook-nya.
Berbicara dengan Radio Palestina Ahad pagi, Saeb Erakat, kepala tim negosiasi mengatakan, kondisi saat ini mengingatkannya pada hari-hari pertama intifada kedua.
"Peristiwa ini mengingatkan pada September 2000," ujarnya. "Pengalaman menunjukkan bahwa Israel tidak dapat mencegah kebebasan rakyat Palestina dengan kekerasan."
Gelombang intifada atau aksi perlawanan massal terhadap Israel pertama berlangsung pada 1987, adapun yang kedua pada 2000. Ketegangan di Yerusalem dan Tepi Barat, beberapa pekan terakhir, memanas setelah aksi pelecehan aparat Israel terhadap Masjid Al-Aqsa.