Selasa 27 Oct 2015 10:54 WIB

Ulama Ini Jelaskan tentang Boleh Tidaknya Donor Organ

Rep: Hanan Putra/ Red: Agung Sasongko
Donor Ginjal (ilustrasi)
Foto: Foto : Mardiah
Donor Ginjal (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semakin modernnya dunia kedokteran memungkinkan seseorang mencangkok dan mendonorkan organ tubuhnya kepada orang lain. Mengingat perkara ini tidak ditemui dalam fatwa-fatwa klasik ulama terdahulu, ulama-ulama kontemporer hanya menetapkan hukum sebatas ijtihad.

Pengkajian dalam ranah fikih juga meluas ke berbagai aspek untuk kemaslahatan umat manusia. Apakah ini menyalahi kodrat manusia, kanibalisme, atau malah diperbolehkan? Lantas bagaimana kajian fikihnya? Apakah boleh seorang Muslim mendonorkan sebagian organ tubuhnya sewaktu dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain?

Ulama kondang Mesir, Syekh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, dalam acara televisinya pernah sekilas menyinggung soal ini.

Seseorang hanya boleh memberikan barang yang ia miliki. Ia tak boleh memberikan, mendonasikan, menginfakkan, atau menyedekahkan sesuatu yang bukan hak miliknya. Seperti firman Allah SWT, “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS an-Nur [24]: 33).

Beberapa ulama berpendapat, tubuh manusia sejatinya adalah milik Allah SWT. Seseorang tidak bisa sesuka hatinya memperlakukan tubuhnya sendiri karena tubuh tersebut adalah milik Allah. Manusia hanya diberikan hak pakai, bukan hak milik. Ia tak boleh menzalimi dirinya sendiri, menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan karena tubuhnya adalah milik Allah SWT.

Namun, soal donor darah yang sudah menjadi kebutuhan dharuriah (darurat) umat manusia, ulama yang berpendapat demikan pun diam. Ada aspek kemaslahatan dari donor darah sehingga kebolehan donor darah mendapatkan ijma' sukuti (ulama bersepakat tanpa ada komentar positif atau negatif). Inilah yang menjadikan donor darah dapat diterima syara'.

Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, kasus donor organ tubuh sama miripnya dengan donor darah. Ada aspek kemaslahatan di sana. Tugas seorang mukmin untuk menghilangkan dharar (bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang. Sebagaimana kaidah fikih dari hadis Nabi SAW, La dharara wala dirara (Jangan membahayakan diri sendiri dan jangan membahayakan orang lain). Intinya, seorang Muslim tidak boleh diam membiarkan bahaya yang menimpa orang lain.

Qardhawi mengatakan, berusaha menghilangkan penderitaan seorang Muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat. Maka tindakan demikian diperkenankan syara. Orang yang melakukan tindakan ini terpuji bahkan berpahala.

Qardhawi berpendapat, Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan sebagai sedekah. Mendermakan sebagian organ tubuh termasuk bahagian dari kebaikan (sedekah).

Bahkan, menurutnya, tindakan ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah SWT merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kendati demikian, kebolehan yang disampaikan Qardhawi bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. Demikian juga tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya, hati atau jantung. Jika ia donorkan, ia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut.

Qardhawi menegaskan, tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Jadi, kaidah la dharara wala dirara tersebut dibatasi kaidah lain yang mengatakan, “tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.”

Contohnya, tidak memperbolehkan mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Mungkin hal dapat menghilangkan dharar orang lain, tapi ia menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar. Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan, tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit. Maka organ ini dianggap seperti satu organ.

 

Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

 

Di samping itu, muqayyad yang diberikan Qardhawi juga harus mendapat izin dari orang yang mempunyai hak atas dirinya. Jika istri, harus seizin suami dan anak harus seizin orang tuanya. Sementara itu, pendonor haruslah orang dewasa dan berakal sehat. Tidak boleh seorang anak kecil mendonorkan organ tubuhnya karena ia tidak tahu persis kepentingan dirinya. Demikian pula halnya orang gila. Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya.

Qardhawi juga membatasi muqayyad kebolehan fatwanya tidak boleh mendonorkan kepada orang kafir harbi (non-Muslim yang memerangi orang Islam) dan orang murtad.

Dalam menolong, diprioritaskan menolong orang Islam terlebih dahulu, baru non-Muslim. Demikian juga dianjurkan untuk menolong kerabat terlebih dahulu dari orang lain. Qardhawi berdalil dengan Alquran, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.” (QS al-Anfal [8]: 75).

Walaupun boleh mendonorkan, Qardhawi tidak memperbolehkan menjualbelikan organ tubuh dengan alasan apa pun. Ia menegaskan, organ tubuh bukanlah properti yang bisa dipertukarkan dan ditawar-menawarkan. Allahu a'lam.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement