REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebakaran lahan dan hutan (karhutla) di Sumatra dan Kalimantan membuat negara tetangga bereaksi keras. Itu lantaran kiriman asap akibat kebakaran itu sampai Singapura, Malaysia, hingga Filipina.
Yang paling miris, menurut Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar, akibat gangguan asap itu merenggut nyawa balita dan orang tua. "Itu semua sesungguhnya adalah efek yang tidak bisa ditoleransi dari sisi kemanusiaan," papar Junisab kepada wartawan di jakarta, Jumat (30/10).
Hingga kini, insiden kebakaran itu masih berlanjut. Dia menyatakan, sangat mungkin kebakaran berlangsung sampai akhir tahun, sebab titik-titik api sudah menyebar merata di lahan gambut kering Sumatra dan Kalimantan.
"Informasi yang saya dapat menyebutkan bahwa sebaran api itu sudah merata di antara tiga sampai 15 meter di bawah permukaan. Itu akan tetap awet sekalipun hujan turun sehari penuh. Kecuali hujan dalam seminggu, namun peluang itu kecil disaat El Nino sekarang," kata mantan anggota Komisi III DPR itu.
Dengan kondisi tersebut, kata dia, sudah sepatutnya pemerintah bekerja secara lebih maksimal. Pemerintah jangan malah berpangku tangan dengan mengharap turun hujan.
"Lalu cara lain yang teranyar salah adalah ketika Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan malah mengumumkan bahwa pemerintah salah memprediksi kejadian alam. Itu seperti mau meninggalkan esensi persoalan," ujar Junisab.
Hal seperti itu dalam kajian audit sudah menunjukkan bahwa ada hal yang salah sedari awal dalam praktik pemadaman kebakaran yang diterapkan pemerintah. Apalagi, sebelumnya pemerintah pernah terbukti melakukan penolakan bantuan dari beberapa negara lain, walau kemudian menerimanya. "Itu adalah mental model manajemen yang sudah sangat memprihatinkan."