REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Silaturahmi Nasional (Silatnas) yang digelar dua kubu Partai Golkar, Ahad (1/11), dianggap sebagai awal dari upaya rekonsiliasi antara kepengurusan Golkar hasil Munas Bali di bawah Aburizal Bakrie dengan hasil Munas Jakarta di bawah Agung Laksono. Namun, Silatnas itu dianggap belum cukup untuk mengukuhkan rekonsiliasi dan mengakhiri dualisme kepengurusan di tubuh Golkar.
Sejumlah pihak, termasuk kepengurusan kubu Agung Laksono, sempat mengusulkan, penyelesaian masalah dualisme kepengurusan itu bisa dilakukan lewat penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas). Namun, usulan Munas ini masih belum diterima oleh kubu Aburizal Bakrie.
Pengamat politik asal Universitas Airlangga (Unair) Haryadi mengungkapkan, Munas bisa saja menjadi salah satu sarana untuk mengukuhkan rekonsiliasi Golkar yang telah dirintis lewat Silatnas. "Tapi, dengan asumsi, Munas itu diselenggarakan oleh elemen-elemen yang melibatkan kedua kubu, baik kubu Aburizal Bakrie ataupun Agung Laksono," ujar Haryadi ketika dihubungi Republika, Selasa (3/11).
Terlebih, tambahnya, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar mengarahkan adanya kepengurusan yang terdiri atas elemen Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Kepengurusan itu pun diharapkan bisa dibentuk paling lambat 90 hari mendatang. Hal ini berdasarkan keputusan MA yang menguatkan putusan PTUN Jakarta.
"Itu artinya bisa saja dilakukan akhir tahun atau awal 2016. Saya kira, di situlah (Munas) bisa dilembagakan rekonsiliasi itu dan untuk mengukuhkan rekonsiliasi itu," ujar Haryadi.
Sebelumnya, lewat Forum Silatnas, kedua kubu kepengurusan Partai Golkar sepakat untuk melakukan islah dan rekonsiliasi di Kantor DPP Partai Golkar, Ahad (1/11) kemarin. Kendati telah mengembuskan upaya perdamaian, tapi kedua belah pihak belum menemukan kata sepakat mengenai adanya penyelenggaraan Munas.