Kamis 12 Nov 2015 06:22 WIB

Etika Bisnis

 Aktivitas jual beli perlengkapan sekolah di toko alat tulis di Pasar Asemka, Jakarta Barat, Senin (7/7). (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Aktivitas jual beli perlengkapan sekolah di toko alat tulis di Pasar Asemka, Jakarta Barat, Senin (7/7). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus

Bisnis dalam perspektif Islam bukan demi keuntungan dunia semata, tetapi sebagai sarana tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan antara penjual dan pembeli. Dengan demikian, penjual berpeluang mendapat keuntungan dunia dan akhirat.

Bisnis dalam perspektif Islam adalah halal (permitted). Tentu saja bagi umat Islam yang mempraktikkan etika bisnis sesuai dengan tuntunan Islam. Maka umat Islam yang ingin berkecimpung dalam bisnis diwajibkan mempelajari etika bisnis sesuai dengan tuntunan Islam tersebut.

Bila tidak, niscaya risikonya akan ditanggung oleh yang bersangkutan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, Islam telah menetapkan etika bisnis tersebut secara gamblang, bahkan telah dipraktikkan secara langsung oleh Rasulullah SAW.

Dalam konteks ini Rasulullah SAW adalah model pelaku bisnis yang seharusnya dijadikan teladan. Sejumlah etika bisnis telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW.

Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, penjual diharuskan bertindak jujur. Penjual dilarang keras membohongi pembeli. Dalam hal barang dagangan terdapat cacat, rusak, kualitasnya rendah dan lainnya penjual diharuskan memberitahukannya kepada pembeli.

Kedua, penjual diharuskan menjauhi sumpah yang berlebihan. Misalnya, demi Allah barang ini saya jual tanpa mengambil keuntungan sama sekali. Apalagi kalau motifnya sengaja memengaruhi pembeli agar membeli barang dagangannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sumpah yang berlebihan sewaktu berjualan berpotensi mengurangi keberkahan dalam barang dagangannya.”

Ketiga, penjual diharuskan memastikan ukuran, takaran, dan/atau timbangan barang yang dijualnya benar-benar sesuai dengan kondisi sebenarnya. Penjual dilarang keras mengurangi ukuran, takaran, dan/atau timbangan barang yang dijualnya. Allah SWT dan Rasul-Nya mengecam penjual yang berbuat curang.

Keempat, penjual dan pembeli diharuskan sama-sama ridha saat melakukan transaksi hingga tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Dengan begitu, penjual tidak diperbolehkan memengaruhi pembeli secara berlebihan. Pembeli sebaiknya diberikan kebebasan untuk memutuskan: membeli atau tidak membeli.

Kelima, pembeli yang tidak tidak/belum mampu membayar barang yang dibelinya secara tunai sebaiknya diberikan kelonggaran hingga yang bersangkutan mampu membayarnya. Bila yang bersangkutan tidak mampu membayarnya penjual disarankan untuk merelakannya.

Keenam, pembeli yang membayar di muka dijamin memiliki barang yang dibelinya. Dengan begitu, penjual dilarang keras menjual barang tersebut kepada pembeli lainnya sebelum diserahkan terlebih dahulu kepada pembeli yang membayar di muka.

Ketujuh, penjual dilarang keras menimbun dan memonopoli barang dagangan. Lebih-lebih bila barang tersebut berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Ambil contoh, barang dagangan yang termasuk kategori sembilan bahan makanan pokok.

Demikianlah di antara etika bisnis yang diatur dalam Islam. Berdasarkan etika bisnis tersebut kita dapat simpulkan: posisi tawar pembeli sangat diuntungkan. Penjual yang mempraktikkan etika bisnis tersebut insya Allah akan beruntung di dunia dan di akhirat. Wallahu alam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement