REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa sekarang kegiatan usaha demikian pesat perkembangannya, yang mencakup hal-hal yang dulu tidak pernah terbayangkan akan dilakukan. Dalam hal ini, setiap keahlian dan pekerjaan apa pun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan, apabila penghasilannya dan pendapatannya mencapai nishab, maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban zakat.
Dalam kegiatan usaha, dewasa ini hampir sebagian besar perusahaan tidak dikelola secara individual, melainkan secara bersama-sama (kolektif dan musyarakah) dalam sebuah badan usaha. Sedangkan dalam Hadits Nabi SAW dinyatakan jangan pisahkan harta yang menyatu dan jangan disatukan harta yang terpisah dalam kaitan dengan mengeluarkan zakat.
(Baca Juga: WZF Bahas Fikih Zakat di Malaysia)
Memahami fikih zakat dalam perekonomian modern perlu di san darkan pada 4 (empat) pokok pikiran, yaitu: Pertama, pemahaman ayat-ayat Al Quran yang bersifat umum (mujmal) yang mewajibkan semua jenis harta agar dikeluarkan zakatnya, antara lain firman Allah: Hai orangorang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS Al Baqarah [2]: 267).
Kedua, berbagai pendapat para ulama klasik maupun kontemporer, meskipun dengan menggunakan istilah yang berbeda. Sebagian dengan menggu nakan istilah yang bersifat umum yaitu al-amwaal, sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah al-maal al-mustafad, seperti terdapat dalam Fiqhuz Zakah (Yu suf Qaradhawi) dan al-Fiqh al- Islamy wa’Adillatuhu (Wah bah Az Zuhaily)
Ketiga, dari sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, bahwa penetapan kewajiban zakat pada setiap har ta yang dimiliki akan terasa sa ngat jelas, dibandingkan de ngan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional.
Petani yang kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apa bila hasil pertaniannya telah men capai nishab. Sangat adil apa bila zakat pun bersifat wajib pada penghasilan yang diperoleh para dokter, para ahli hukum, konsultan dalam berbagai bidang, para dosen, para pega wai dan karyawan yang memiliki gaji tinggi dan profesi lainnya.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Bahkan akan menjadi kegiatan ekonomi yang utama, seperti terjadi di negara-negara industri sekarang ini.
Penetapan kewajiban zakat menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Ulama dan ahli fikih dunia Islam abad ini Prof Afif Abdul Fatah At-Thabbarah menya ta kan, bahwa aturan dalam Islam itu bukan saja sekedar berdasar kan pada keadilan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi sejalan dengan kemaslahatan dan kebutuhan hidup manusia, sepanjang zaman dan keadaan, walaupun zaman itu berbeda dan berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan menggunakan qiyas (analogi hukum) masalihul mursalah dan prinsip-prinsip umum fikih Islam, dimungkinkan me ma sukkan jenis-jenis harta dan pendapatan yang di zaman Nabi SAW belum ada contohnya, namun kini dipandang sebagai harta yang bernilai dalam perkembangan ekonomi modern, menjadi harta objek zakat. Maka, masih ragukah kita terhadap zakat profesi atau zakat perusahaan yang wajib dikeluarkan? Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber: Tulisan Prof. Didin Hafidhudin pernah dimuat di Harian Republika 18 April 2011