Selasa 24 Nov 2015 09:50 WIB

Persahabatan yang Menyembuhkan

Persahabatan (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Persahabatan (ilustrasi).

Oleh: Abdul Muid Badrun

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diceritakan, sebut saja tiga perempuan itu bernama A, B, dan C. Ketiganya tinggal di perumahan besar Bekasi. Mereka begitu dekat, bahkan hati dan pikiran mereka sedekat jari manis dan kelingking. Saking dekatnya, mereka tak bisa dipisahkan. Hingga suatu ketika salah satu di antara mereka, sebut saja A, mengalami sakit.

"Kring!" telepon berbunyi di rumah A. "Halo...." jawab suami A yang saat itu sedang menemaninya. "Saya B Pak, apa benar A sedang sakit?" tanyanya. "Benar, sudah dua hari ini istri saya A sakit." "Kalau begitu saya akan ajak C langsung ke rumah Bapak," ucapnya sambil cepat-cepat menutup telepon. Sesampai di rumah A, B dan C langsung memeluk temannya yang sakit itu dengan pelukan hangat seorang sahabat.

Anehnya, setelah B dan C datang dan memeluk, kondisi sakit A langsung berubah. A seakan dapat "obat mujarab" dari kedatangan dan pelukan B dan C. Hasilnya A sembuh dari sakitnya. Namun, ketika B dan C pulang, paginya A sakit lagi. Akhirnya suami A meminta B dan C tinggal sementara di rumahnya agar sakit A bisa cepat disembuhkan.

Inilah yang dalam bahasa psikologi layanan disebut emotional bonding (keterikatan emosi). Sebuah peristiwa yang bisa muncul karena adanya persahabatan yang kuat. Ini bukan sugesti, bukan pula mitos dan ilusi. Ini nyata adanya bahwa persahabatan yang kuat itu bisa menyembuhkan. Hal ini pula seirama dengan sabda Nabi SAW, "Orang mukmin satu dengan yang lainnya seperti sebuah bangunan, satu sama lain saling menguatkan (HR Bukhari dan Muslim).

Sakit yang dialami A sembuh bukan karena obat-obatan medis, melainkan karena kedatangan dan pelukan kedua sahabatnya, B dan C. Kenyataan ini semakin memberikan pelajaran pada kita semua bahwa arti persahabatan saat ini perlu di-rejuvenasi (diremajakan) dan direinterpretasi (dimaknai ulang). Karena, selama ini orang berteman atau bersahabat lebih didominasi karena adanya kepentingan, bukan ketulusan yang dalam. Padahal, Alquran memberikan motivasi pada kita, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara" (QS al-Hujuraat [49]:10).

Persahabatan ketiga perempuan dalam satu kompleks perumahan di atas semakin membuktikan bahwa tanpa kepentingan pun mereka bisa bersabahat dengan baik dan indah. Bahkan, melebihi kata baik dan indah. Ketika saya bertanya kepada salah satu di antara mereka, "Apa yang menyebabkan persahabatan kalian bisa baik dan kuat begini?"  Salah satu di antara mereka menjawab, "Semuanya karena sejak awal persahabatan kita didasari rasa saling memiliki dan melayani." Inilah yang saat ini langka di negeri ini.

Tokoh politik, tokoh masyarakat, ilmuwan, cendekiawan, tokoh agama, mahasiswa, dan siapa saja perlu belajar dari model persahabatan ketiga ibu-ibu tersebut. Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami penyusutan persatuan dan kesatuan nyata adanya. Satu sama lain berlomba-lomba untuk mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya masing-masing di atas kepentingan umat dan rakyat.

Akibatnya hubungan mereka sebatas transaksional semata. Bukan saling memiliki dan melayani. Persatuan dan kesatuan adalah harga mati bagi bangsa ini. Tanpa persatuan dan kesatuan, bangsa ini akan semakin mudah goyah, rapuh oleh tantangan zaman. Nah, model persahabatan di ataslah yang patut kita coba terapkan sebagai dasar untuk memperkuat fondasi persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement