REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami/ Wartawan Republika.co.id
"Di antara tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya." (Assyura, 29).
Sejak mula peradaban, langit tak pernah berhenti membuat takzim manusia. Terlebih ketika miliaran noktah-noktah kecil berkilau dilatari hitam pekat saat malam tiba.
Manusia kemudian paham bahwa sedianya yang berkilau di langit malam tersebut adalah serupa matahari. Sedangkan Bumi adalah bagian kecil saja dari alam semesta yang luasnya tak terkira. Pertanyaan yang kemudian mencuat, apakah hanya Bumi semata wayang yang ditinggali makhluk hidup cerdas seperti manusia?
"Sangat mungkin ada, baik kehidupan cerdas maupun kehidupan tingkat rendah seperti mikroba, serangga," kata Fan Fan Darmawan, seorang warga Bandung, Jawa Barat, ketika ditanyai Republika.co.id terkait kemungkinan tersebut.
Jawaban itu tak aneh datang dari Fan Fan. Sebab, ia adalah juga anggota BETA-UFO, kelompok yang giat mengamati fenomena-fenomena penampakan benda terbang tak dikenal.
Fan Fan tak asal yakin. Ia kemudian memaparkan bagaimana kemungkinan tersebut mengambil tempat dengan mengutip teori Frank Drake, astronom AS yang menginisiasi pembangunan penerima pancar raksasa untuk mencari
sinyal dari peradaban di planet lain.
Pada 1961, Drake menelurkan yang namanya Persamaan Drake. "Ringkasnya, jika total bintang dan rentang waktu alam semesta ini dihitung, dan kita ingin mencari kemungkinan keberadaan makhluk sejenis manusia, maka probalitasnya mencapai angka lebih dari 10 ribu jenis kehidupan di luar sana, sejak Big Bang sampai saat ini," kata Fan Fan.
Untuk menggali lebih dalam soal kemungkinan adanya kehidupan di planet lain, Republika.co.id menanyai Dr Taufiq Hidayat, guru besar studi Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB). Mantan Kepala Observatorium Bosscha di Lembang, tersebut adalah satu dari empat orang Indonesia yang namanya diabadikan sebagai nama asteroid.
Taufiq menuturkan di kalangan ilmuwan ada dua mazhab besar terkait kehidupan di planet lain. Yang pertama mengambil sikap optimistis, seberangnya pesimistis.
Para pendukung mazhab optimistik menyandarkan keyakinan mereka pada luasnya alam semesta. Taufik mengumpamakan, di galaksi Bima Sakti tempat kita bernaung, ada setidaknya 200 miliar bintang. Dari jumlah itu, ada sejumlah besar fraksi bintang yang mirip dengan matahari dan memiliki planet-planet.
Bima Sakti hanyalah satu dari 170 miliar galaksi yang telah dipetakan sejauh ini. Masing-masing galaksi memiliki minimal 10 juta hingga seratus triliun bintang. "Dan satu persen saja dari miliaran bintang itu jumlahnya banyak sekali," kata Taufiq.
Sebab itu, kata Taufiq, para penganut mazhab itu meyakini kemungkinan besar memang ada planet mirip bumi yang ditinggali makhluk hidup. Bahkan, mereka juga percaya kehidupan-kehidupan di luar Bumi melimpah ruah.
Sementara mazhab pesimistis berargumen dengan melihat kondisi di Bumi. Mereka mempertimbangkan bahwa hal-hal yang menopang kehidupan di Bumi sangat banyak dan spesifik.
Taufiq memisalkan kondisi pratektonik, kandungan atmosfer, air, udara, jarak yang tepat dari bintang tempatnya menginduk, keberadaan bulan sebagai satelit penyeimbang, dan banyak lagi lainnya.
Intinya, dalam satu dan lain hal, Bumi memang istimewa. Para penganut maszhab pesimistis meyakini, sangat sulit menyamai gabungan kondisi-kondisi untuk menopang makhluk hidup, terutama yang berakal, seperti di Bumi.
Tapi ada juga jalan tengah. Menurut Taufiq, bisa jadi memang makhluk berakal tak tersebar secara melimpah di jagad raya. Meski begitu, yang lebih besar kemungkinannya adalah keberadaan jasad-jasad renik atau organisme bersel tunggal.
"Kalau saya pribadi percaya ada kehidupan cerdas di planet lain, tapi tak melimpah." Kata Taufiq. Dan kemungkinan pertemuan kehidupan-kehidupan cerdas tersebut, seperti di film-film fiksi ilmiah sejauh ini sangat kecil.
Sementara itu, pencarian secara ilmiah atas kehidupan cerdas maupun makhluk bersel tunggal belum membuahkan hasil. Pencarian dengan mencoba menangkap sinyal dari planet berpenghuni melalui program penerima pancar Search for Extraterrestrial Intelligence (SETI) oleh lembaga antariksa AS (NASA) belum mendapat balasan.
Sedangkan Square Kilometre Array (SKA), proyek teleskop radio untuk mencari sinyal kehidupan cerdas dari planet lain yang akan dibangun di Australia dan Afrika Selatan baru akan mulai memindai langit pada 2020 nanti.
Begitu juga teleskop luar angkasa Kepler yang diorbitkan NASA pada 2009. Hingga Januari 2015, teleskop yang tugasnya semata untuk mencari planet mirip Bumi itu telah menemukan 1.103 planet dari 440 tata bintang. Dari jumlah itu, baru tiga planet, yakni Kepler-438b, Kepler-442b, dan Kepler-452b yang terindikasi kuat berukuran serupa Bumi, mengorbit pada zona yang dapat ditinggali makhluk hidup pada sistem bintang masing-masing, dan mengandung air.
Pencarian makhluk hidup bersel tunggal di Mars juga baru akan dimulai. Demikian juga pencarian sejenis kehidupan di Europa, satelit planet Jupiter yang diduga memiliki lautan.
Tapi bagaimana kalau jawaban soal tersebut tak semata bisa ditemukan di luar angkasa? Bagaimana kalau setidaknya isyarat-isyarat terkait adanya kehidupan lain di luar angkasa ternyata sudah berdiam di rak-rak buku rumah-rumah kita?
Amal Elmohtar, seorang penulis fiksi spekulatif pemenang rerupa penghargaan menuturkan kepada Republika.co.id melaui surel bahwa ide soal keberadaan makhluk hidup di planet lain bukan ide yang asing dalam khasanah sastrawi Arab. Perempuan keturuan Timur Tengah yang berdiam di Kanada itu kemudian menyinggung tentang Zakariya Alqazwini, seorang ilmuwan Arab yang hidup pada abad ke-13.
Alqazwini adalah seorang astronom dan penulis buku Aja’ib Almakhluqat wa Gharaib Almawjudat, sebuah buku kosmografi yang jadi rujukan pada zamannya. Ia juga pernah menulis sebuah buku yang digadang-gadang sebagai salah satu karya fiksi ilmiah paling awal berjudul Awaj bin Anfaq. Dalam buku tersebut, Alqazwini mengisahkan tentang seorang penghuni planet lain yang mengunjungi bumi di masa depan.
Ilmuwan tersebut banyak mengutip penemuan ilmuwan lain untuk menguatkan posisinya soal hal tersebut. Tapi yang juga jadi inspirasinya adalah ayat-ayat dalam Alquran. Ayat ke 29 surat Assyura yang dikutip di muka tulisan ini bisa jadi salah satunya.
Di Indonesia, salah satu tafsir yang menguatkan indikasi keberadaan makhluk hidup di luar angkasa melalui ayat tersebut adalah Tafsir Alfurqan karya Ahmad Hassan (1887-1958). Tafsir tersebut ia tulis dalam rentang 1920 hingaa 1950-an. Saat ini, Tafsir Alfurqan adalah pegangan ormas Islam Persatuan Islam (Persis).
Terkait ayat ke-29 Assyura, begini tafsir Ahmad Hassan dalam cetakan versi 1956: "Ini berarti bahwa di langit-langit (di bintang-bintang) ada benda hidup jang merajap. Allah berkuasa mengumpulkan machluq-machluq itu sesudah matinja di hari Qijamat."
Ada pula tafsir Ahmad Hassan tentang Assafaat ayat 5: "Tuhan bagi tempat-tempat terbit matahari itu bisa diartikan, bahwa bumi-bumi jang mendapat tjahaja dari matahari seperti bumi kita ini ada banjak. Tiap-tiap bumi itu mempunyai masjriq (tempat terbit) dan maghrib (tempat terbenam). Djadi, artinja: Tuhan bagi semua bumi-bumi jang mempunjai masjriq."
Menarik dicatat bahwa keberadaan planet di luar tata surya yang mengorbit pada zona serupa Bumi baru terkonfirmasi pada 2011.
Pada waktu yang tak terlalu berjauhan dengan Ahmad Hassan, ulama asal Pakistan Abul Ala Al Maududi (1903-1979) berpendapat serupa. Dalam buku komentar Alqurannya, Tahfim ul Quran, pendapat Maududi terkait dua ayat di atas serupa dengan tafsir Ahmad Hassan. Namun, dalam buku yang disusun sejak 1942 hingga 1972 itu, Maududi berspekulasi lebih jauh terkait tafsir Surat Attalaq ayat 12.
Bunyi ayat tersebut, "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."
Dengan panjang lebar, Maududi menjelaskan, arti dari ayat tersebut adalah bahwa Allah telah menciptakan bumi-bumi lain yang dihuni oleh makhluk berakal seperti manusia dan makhluk-makhluk lainnya. "Dengan lain kata, gemintang dan planet-planet yang tak terhitung jumlahnya tak semuanya ditelantarkan. Tapi, seperti bumi, banyak di antaranya yang ditinggali," tulis Maududi.
Ia mendasari pendapat itu dengan mengutip Ibnu Abbas, salah satu sahabat Nabi Muhammad dan salah satu penafsir awal Alquran. Maududi mengutip kisah yang jamak diriwayatkan ulama-ulama terdahulu bahwa Ibnu Abbas mulanya enggan menyampaikan tafsir terhadap ayat tersebut karena khawatir keimanan umat Islam bakal terguncang.
Meskipun begitu, tulis Maududi, para penafsir klasik seperti Ibnu Jaarir Atthabari, Ibnu Abi Hatim Arrazi, dan Imam Baihaqi, juga mengutip keterangan tambahan dari Ibnu Abbas. "Dalam tiap-tiap bumi tersebut, terdapat rasul seperti Rasul kalian, Adam seperti Adam kalian, Nuh seperti Nuh kalian, Ibrahim seperti Ibrahim kalian, dan Isa seperti Isa kalian," adalah bunyi kutipan tersebut.
Sejumlah penafsir Alquran lain meragukan kutipan itu dan menegaskan bahwa semisal benar kutipan itu datang dari Ibnu Abbas, sumbernya bisa jadi dari tradisi Israiliyat. Namun, kata Maududi, keberatan-keberatan tersebut lebih didasari belum lengkapnya ilmu pengetahuan pada masa-masa terdahulu.
Maududi kemudian mengutip ahli tafsir abad ke-19 Mahmud Alalusi yang mengatakan "tak ada halangan intelektual maupun religius untuk mengambilnya (komentar Ibnu Abbas) sebagai kebenaran. Ia hanya berarti bahwa di tiap-tiap bumi, ada makhluk-makhluk yang menelusuri leluhur mereka seperti manusia menelusuri asal mulanya pada Adam."
Bagaimanapun, tafsir Alquran lahir sesuai zamannya. Sebab itu, Republika.co.id mencoba menanyai sejumlah ahli tafsir di Tanah Air soal isyarat keberadaan makhluk hidup di planet lain.
Dr Akhsin Shakho Muhammad, seorang pakar Ilmu Alquran jebolan Madinah sekaligus pendiri dan pengasuh Ma`had Darul Qur’an di Arjawinangun, Cirebon mengiyakan bahwa Alquran mengindikasikan keberadaan makhluk hidup lain di 'langit.'
"Jadi kalau kita lihat teks di Alquran memang demikian bunyinya. Dabbatun artinya makhluk melata. Artinya dia hidup," kata Akhsin merujuk pada surat Assyura ayat 29.
Hanya saja, menurut dia, kita belum mengetahui bentuknya hingga saat ini. Terkait hal itu, kata Akhsin, bisa diserahkan pada sejarah serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang jelas, ia menegaskan, umat Islam harus meyakini bahwa Allah memang menciptakan makhluk hidup di langit yang dalam Alquran disebut samawati.
Arti kata samawati, kata Akhsin, bisa berarti tingkatan-tingkatan langit. Bisa tingkat pertama, tingkat kedua dan seterusnya. Secara umum samawati juga bisa diartikan sebagai bintang-bintang. Bahkan seluruh wilayah yang posisinya di atas bumi bisa disebut samawati.
Penulis Tafsir Almisbah Quraish Shihab mengiyakan pendapat tersebut. Ia mengatakan, Alquran biasanya menyinggung makhluk yang tersebar di langit dan di bumi dengan bahasa maa fil samawati wa ma fil ardh.
Makhluk-makhluk yang dimaksud tersebut, merunut pengertian kata dia, adalah makhluk-makhluk berakal.
"Hanya saja tidak spesifik disebutkan seperti apa makhluk-makhluk tersebut," kata Quraish Shihab. Menurut dia, sebagian ulama menerjemahkan makhluk-makhluk berakal tersebut sebagai malaikat atau jin.
Meski begitu, seperti Shakho, Quraish menyatakan bahwa Alquran juga menyebut dabbah untuk makhluk-makhluk yang disebar di langit merujuk pada Surat Assyura 29. "Kata itu merujuk pada makhluk yang bergerak," kata Quraish Shihab. Jangkauan kata itu, kata Quraish Shihab, bisa merentang dari binatang besar hingga jasad renik.
Hal tersebut, Quraish menambahkan, sedianya sejalan dengan penemuan para ahli astrobiologi bahwa ada makhluk-makhluk yang bisa bertahan hidup dengan kondisi-kondisi tak seperti bumi di rerupa benda luar angkasa.
Pada akhirnya, kata Quraish, semisal nantinya pencarian ilmiah membuktikan bahwa ada organisme-organisme hidup di planet lain, umat Islam sejatinya tak perlu terguncang imannya. Bahkan, melalui isyarat-isyarat dalam Alquran, umat Islam bisa ikut membenarkan penemuan-penemuan tersebut.
"Jadi, yang kita dapatkan adalah kepercayaan berganda, dari penelitian ilmiah, dan dari kitab suci," katanya.