Ahad 13 Dec 2015 00:22 WIB

Rakyat Papua Belum Rasakan Kesejahteraan dari Freeport

Pertambangan Grasberg PT Freeport  (ilustrasi)
Foto: Antara Foto
Pertambangan Grasberg PT Freeport (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat Sajogo Institute, Siti Maimunah mengatakan, kita terlalu sibuk membicarakan pembagian besaran royalti, saham, dan divestasi kontrak karya PT Freeport Indonesia. Tetapi, tidak pernah memperhitungkan social cost yang ditanggung masyarakat yang hidup di sekitar pertambangan.

"Pernah gak ada biaya kesehatan yang dikeluarkan warga di sekitar pertambangan ditanggung oleh negara atau perusahaan? Gak kan?" kata Maimunah di Sultan Residences 2, Senayan, Jakarta Selatan Sore tadi (11/12).

Ia menuturkan, krisis sosial ekologis yang dialami bangsa ini makin memburuk. "Sementara kita sibuk menggelar drama untuk membicarakan hitung-hitungan royalti, saham, dan divestasi," ucap dia.

Maimunah menambahkan, pembicaraan tentang laba ataupun perpanjangan kontrak selalu diulang-ulang. Seolah-olah hal itu baru sekali terjadi. "Krisis ekologis itu selalu berulang dan meluas. Celakanya, seperti krisisnya sendiri (sosial ekologis) yang selalu berulang," kata dia.

Pembicaraan tentang laba dan untung melalui renegosiasi kontrak dan divestasi saham, diulang saat kontrak-kontrak diperpanjang. "Mirip siaran televisi yang memberitahukan kehebohan banjir Jakarta tiap musim hujan, seolah baru terjadi kali itu saja. Padahal, krisis tersebut menyejarah," imbuhnya.

(Baca Juga: Indonesia Dinilai Lemah Mengelola Sumber Daya Alam)

Berkaitan dengan perpanjangan kontrak karya Freeport, Maimunah mengingatkan, negara harus segera mengoreksi pengelolaan sumber daya alam yang saat ini lebih melayani pasar ketimbang rakyatnya sendiri. Untuk itu ia menekankan, sebaiknya, setelah kontrak Freeport habis, pemerintah berani untuk menutup pertambangan Freeport hingga Indonesia mempunyai konsep yang jelas dan sudah melalui tahapan mendengarkan suara rakyat Papua.

"Sudah waktunya negara mengoreksi pengurusan kekayaan alam yang semata melayani pasar. Kalau saya pribadi, tutup dulu saja (pertambangan Freeport), sampai negara punya konsep mau dibagaimanakan ini," ucap dia.

"Misalnya," kata dia melanjutkan, "dengan konsultasi dengan rakyat Papua mau apa persiapan dua tahun ini. Agar kita tidak de javu lagi gitu yah. Nanti tahun 2021 ada kayak gini lagi. Asli, kita tuh seperti dipermalukan dan Freeport tuh ketawa-ketawa saja di Amerika sana."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement