REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menyatakan untuk mengakhiri krisis di Suriah tidak harus bergantung pada nasib Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Menjelang babak baru perundingan internasional tentang Suriah di New York pada Jumat (18/12), Ban mengatakan perbedaan pendapat pada masa depan Assad harus menjadi penentu memajukan prospek perdamaian.
"Tidak dapat diterima solusi untuk krisis Suriah harus bergantung pada nasib satu orang (Assad). Ini tidak bisa diterima," kata Ban dalam konferensi pers, seperti dikutip dari laman Al Arabiya, Kamis (17/12).
Menteri luar negeri dari 17 negara, termasuk negara yang terlibat dalam konflik ini seperti Rusia, Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat bertemu di New York pada Jumat (18/12) untuk putaran ketiga pembicaraan mengakhiri perang saudara Suriah.
Pada putaran pembicaraan terakhir, International Syria Support Group (ISSG) setuju untuk pembicaraan damai yang dipimpin PBB dan gencatan senjata pada Januari. Kemudian disusul transisi politik dalam waktu enam bulan. Setelah itu, pemilu dan konstitusi baru dalam kurun waktu 18 bulan.
AS menilai Assad harus mundur. "Kami tetap benar-benar yakin selama Presiden Assad berkuasa, itu akan menjadi tantangan untuk mengalihkan perhatian negara dan perhatian berbagai kelompok bersenjata untuk memerangi terorisme dan melawan ISIS," kata Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power.
Baca juga:
Cara Jalan Putin Dinilai Aneh, Ini Penjelasan Ilmuwan
Iran Ingin Gabung Koalisi Militer Islam, Ini Syaratnya
Bagaimana Rasanya Menjadi Muslim di Pedalaman Australia?
Kaleidoskop April 2015: Pria Selamat Setelah 3 Hari Terkubur, Nenek 65 Tahun Hamil Kembar Empat