Senin 28 Dec 2015 08:35 WIB

Mengais Rezeki di Tengah Bau (Bagian 1)

Pemulung berjalan mengangkut sampah di TPST Bantar Gebang,Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Pemulung berjalan mengangkut sampah di TPST Bantar Gebang,Bekasi, Jawa Barat, Kamis (5/11).

Tak semua anak-anak bisa menikmati kehidupan yang layak. Banyak di antaranya menjalani hidup mengikuti orang tuanya menjadi pemulung sampah. Mereka bahkan tinggal di tempat pembuangan sampah. Wartawan Republika Mas Alamil Huda mengikuti keseharian anak- anak yang tinggal di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantargebang Bekasi, Jawa Barat. Berikut laporan pertama dari empat tulisannya.

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Rokhim (13 tahun) menuju sebuah sofa lusuh dengan busa acak-acakan tak jauh dari gunung sampah. Beberapa bagiannya robek. Tapi, Rokhim begitu asik bersandar di sana. Tubuhnya yang kecil dan kurus terlihat semakin jelas. Celana pendek yang dikenakan memperlihatkan lututnya yang menonjol. Betis dan pahanya tak berisi. Kulit tubuhnya hitam bekas paparan sinar matahari. Rokhim adalah salah satu potret kemiskinan anak pemulung di Bantargebang.

Dia baru saja menerima upah dari seorang sopir truk pengangkut sampah ketika truk menunggu giliran memuntahkan isinya ke tempat pembuangan. Terlihat selembar uang Rp 5.000-an disodorkan kepada sang anak. Tanpa tawar-menawar, digenggamnya uang itu dan dimasukkan ke tas selempang kecil warna hitam yang menyilang di tubuhnya.

Ia menjual jasa untuk melepas terpal penutup bak truk yang penuh dengan muat an sampah. Satu per satu tali yang mengikat terpal penutup muatan pada bak truk dia lepaskan.

Tangannya begitu cekatan seperti menjadi pekerjaannya sehari-hari. Kesehari an yang begitu lekat dengan aroma dari gunung sampah yang terempas bersa ma semilir angin begitu menusuk saraf hidung.

Tak hanya membuka penutup terpal. Rokhim memulai semuanya saat deretan truk mulai memasuki tempat pembuangan. Deru suara mesin truk tak pernah berhenti dan hampir tanpa jeda. Satu per satu truk dengan berbagai ukuran datang menuju tempat akhir pembuangan. Bak truk berisi penuh sampah terus berdatangan. Mereka berjejer memanjang kebelakang menghadap sebuah gapura besar bertuliskan "Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat".

Para pengemudi santai menunggu giliran. Seorang sopir di urutan empat dari depan tampak menikmati antrean. Ia menyandarkan lengan atasnya di bagian kanan pintu truk yang dia kemudikan. Telunjuk dan jari tengahnya menggapit sebatang keretek "berpelat kuning". Diisapnya keretek itu dalam- dalam. Sejenak dibiarkan asap memenuhi rongga paru-parunya. Ia embuskan pelan-pelan, dan asap kemudian memenuhi kabin depan. 

Di seberang jalan beberapa anak dan remaja tanggung sedang asik bersenda gurau di teras rumah beratap seng berkarat. Mereka duduk bergerombol di sebuah amben atau dipan yang terbuat dari bambu. Nuansa keakraban menjadi pemandangan tersendiri di tengah hilir mudik truk yang keluar masuk mengangkut sampah. Satu di antara mereka kemudian dengan setengah berlari menghampiri sopir yang asik dengan kereteknya tadi. Di sinilah Rokhim memulai semuanya.

Sopir itu kemudian mengambil sesuatu dari dashboarddi depan kemudinya. Anak lelaki yang memakai topi lusuh berwarna merah itu lantas mendongakkan kepala. Ia mengangkat tinggi tangannya untuk menggapai secarik kertas warna kuning pudar dari sopir. Seperti sudah terbiasa, tak ada pembicaraan di antara keduanya. Dan Rokhim segera bergegas menuju jembatan timbang yang terletak persis setelah gapura besar. Ia serahkan selembar kertas itu ke petugas administrasi.

Jembatan timbang inilah yang menghitung beban muatan dari masing-masing truk yang mengangkut sampah, baik yang dari Bekasi maupun Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Hingga diketahui bahwa ada ribuan ton sampah dari Ibu Kota se tiap harinya dilarikan ke tempat pembuangan Bantar gebang.

Tak lama kemudian giliran truk itu tiba. Lelaki berkumis tebal itu memegang kemudinya dan perlahan melajukan truknya menuju jembatan timbang. Anak itu ikut bersama truk ke tempat pembuangan. Duduk manis di bumper depan truk.

Tak ada ketakutan di raut mukanya. Truk memang tidak melaju kencang. Tapi setidaknya cukup mengerikan untuk dilihat orang yang tidak terbiasa dengan pemandangan itu. Bumper truk memang menyisakan ruang tempat duduk baginya. Meski tidak lebar, cukup nyaman bagi ukuran tubuhnya yang kecil. Dengan berpegangan pada besi berdiameter 10 sentimeter di bumper, ia terlihat tenang dengan kaki bergelantungan. Dan truk terus melaju ke tempat pembuangan akhir.

Jarak dari tempat di mana sampah itu dibuang dengan pintu masuk TPST Bantargebang tak begitu jauh. Meski dengan laju cukup pelan, jarak itu hanya ditempuh dalam waktu tak lebih dari 10 menit. Tapi dalam beberapa menit itulah nyawa seorang anak manusia jadi taruhan. Nyawa berharga yang sengaja dipertaruhkan demi membantu orang tuanya untuk mengisi periuk nasi.

Rokhim hanya tersenyum saat ditanya tentang sekolah. Sekolah menjadi barang langka bagi anak pemulung di sana. Kemiskinanlah yang menjadi pangkal masalah. Rokhim merupakan satu dari sekian banyak anak yang harus membantu orang tuanya demi bertahan hidup. Sekolah, baginya, menjadi nomor kesekian. "Harusnya kelas enam sekarang," katanya tersenyum.

Sambil melepas lelah, Rokhim memandang ke arah gunungan sampah. Ada empat alat berat berwarna kuning terlihat jelas di atas. Deru suara mesin alat berat terdengar jelas dari tempat Rokhim bersantai. Alat-alat itu tak henti-hentinya bekerja. Di tengah-tengah alat- alat itu, terlihat juga puluhan orang memunguti sampah. Dari anak-anak hingga dewasa.

Jarak antara Rokhim dan gunungan sampah tidak terlalu jauh. Seorang anak terlihat memungut sampah dengan cekatan. Ia memilah-milah dengan tongkat besi kecil di tangan kanannya. Satu per satu sampah dimasukkan kekeranjang yang digendongnya. Tubuhnya diselimuti pakaian dari kepala hingga ujung kaki. Lengkap dengan topi. Semuanya untuk melindungi diri dari panas yang menjerang selama mengais rejeki di gunungan sampah.

"Sepertinya itu teman saya," ucap Rokhim. "Kadang saya masih mulungjuga, Bang, tapi sudah jarang. Capek," ujar Rokhim melanjutkan dengan memegang tas hitam yang diletakkan di atas perutnya.

Di tengah suasana perbincangan sore itu, seorang anak menyapa Rokhim. Baju birunya kumal. Ia masih menggendong keranjang kosong di punggungnya. Tangannya memegang tongkat besi pemungut sampah. Kakinya terbungkus sepatu boot hitam kebesaran yang robek di beberapa bagian. "Kamu sekarang jarang masuk ke mana? Dicari Pak Guru," kata Sahadi menyapa Rokhim.

Tampaknya Sahadi adalah anak yang beberapa saat tadi ditebak Rokhim sebagai temannya. Dia yang terlihat dengan cekatan memulung di gunungan sampah tadi. Sesekali Sahadi membenarkan letak topinya. Yang ditanya hanya tersenyum. Terjadi percakapan ringan penuh canda di antara keduanya.

Sahadi senasib dengan Rokhim. Orang tuanya pemullung. Ia kini duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Keterbatasan biaya membuat ia tak mampu untuk belajar di sekolah formal. Sebuah sekolah alam menjadi pilihan Sahadi untuk menyalurkan hasratnya demi mengenyam pendidikan. "Hari ini tadi libur, kalau libur, saya mulung, Kak," ujar dia. "Tapi ini sebentar lagi Maghrib, saya mau mandi dulu dan shalat."

Anak kelahiran tahun 2002 itu lantas menawari saya untuk mampir ke rumahnya di RT 03, RW 03 Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Bekasi. Matahari sudah tergelincir di barat. Dan bau sampah yang menyengat tertiup bersama angin sore terus mengikuti kami berjalan menuju rumah Sahadi dan keluarganya.

Versi cetak tuisan ini terbit di halaman 1 Koran Republika edisi Sabtu, 26 Desember 2015

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement