REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika para peneliti di Eropa sibuk membincangkan terorisme, Belgia tak terlalu menyita perhatian. Namun, melihat perannya dalam serangan Paris, sebagian orang kini melihat itu seperti kesalahan.
Beberapa perkiraan menyebutkan, Belgia telah memasok anggota kelompok bersenjata ke Suriah dengan angka paling tinggi di antara negara-negara Eropa lain. Jumlah itu berkisar 350-550 dari total populasi kurang lebih 11 juta jiwa.
"Ada sejarah yang sangat panjang dalam hubungan antara Belgia dan Prancis di bidang terorisme," kata Rik Coolsaet, pakar terorisme di Universitas Ghent, dilansir dari The Guardian. Seperti di tempat lain, Belgia mengalami gelombang terorisme pada 1980-an dan 1990-an terkait dengan kerusuhan di Timur Tengah. Isu ini telah terbangun selama bertahun-tahun.
(Baca: Populasi Muslim Belgia Kebanyakan Anak Muda)
Selama satu dekade terakhir, beberapa pria dari Belgia melakukan perjalanan ke Irak. Sejumlah warga negara lain melakukan perjalanan ke Afghanistan. Muriel Degauque, seorang mualaf dari Charleroi, yang meninggal pada 2005 saat pengeboman konvoi AS di Irak, menjadi wanita Eropa pertama yang melakukan serangan bunuh diri.
Pada 2008, jaringan pengiriman Muslim muda Belgia ke kamp-kamp pelatihan Alqaidah terbongkar. Pemimpin kelompok itu, Moez Garsallaoui, seorang pria Tunisia kelahiran Belgia, diketahui tinggal di perbatasan Pakistan dengan Afghanistan.
Konflik panjang yang mengiringi Arab Spring memberi kesempatan baru bagi para ekstremis di seluruh Eropa. Molenbeek, sebuah sektor berpopulasi 90 ribu jiwa di ibu kota Belgia, dipandang oleh banyak orang sebagai lokasi masalah. Di beberapa lingkungan, kota kecil itu dihuni hingga 80 persen Muslim.
"Sebagai bagian dari Brussels, ada daerah di mana polisi tidak memiliki banyak kekuasaan. Ada daerah yang sangat terpisah yang tidak terasa kalau mereka masih bagian dari negara Belgia," kata Edwin Bakker, seorang analis Belgia.
Dua tren—aliran anak muda Muslim yang tidak puas dengan Suriah dan jaringan lama ke Prancis—tak terhindarkan bergabung. Pada Agustus 2014, seorang Prancis asal Aljazair yang tinggal di Molenbeek menembak mati empat orang di Museum Yahudi di Brussels. Mehdi Nemmouche baru saja kembali dari Suriah. Para pejabat Prancis percaya, ia mungkin telah bertindak sebagai kepala penjara sandera Barat untuk ISIS. Meski begitu, ada pula yang mengatakan peran Molenbeek terlalu dibesar-besarkan.
Wartawan Muslim, Hind Fraihi, mencoba menjawab pertanyaan publik, yaitu mengapa fenomena ekstremisme bisa muncul beberapa dekade terakhir. Ia merasa jenis ekstremis radikal sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dia pelajari dari orang tuanya yang bermigrasi ke Belgia lebih dari setengah abad lalu. Ke tempat yang dianggap orang sebagai sarang teroris Brussels itulah dia pergi mencari jawaban.
Dilansir dari the Washington Post, wartawan itu menyamar sebagai mahasiswa pascasarjana sosiologi selama dua bulan di Molenbeek. Ia mewawancarai beberapa pemuda Muslim dan imam setempat. Tiga orang dari respondennya kini pergi ke Suriah.
Di tempat itu, kisah Fraihi, ia bisa dengan mudah membeli literatur ekstremis yang menyeru orang-orang untuk mengangkat senjata melawan kaum kafir. Buku-buku jihad itu dia beli dari sebuah lapak buku bebas. Kendati dicetak di Amsterdam, buku itu ditulis di Arab Saudi.
Penelitian yang berlangsung 10 tahun lalu itu kemudian dia tuliskan dalam buku berjudul Undercover in Little Maroko. Sebelum diterbitkan sebagai buku, tulisan itu muncul pertama kali di surat kabar Flemish.
Fraihi menceritakan, tiga pemuda yang kini pergi ke Suriah itu. Mereka cukup matang untuk direkrut oleh jaringan internasional. Jihad yang maknanya telah disalahartikan mereka anggap telah menawarkan tujuan hidup. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang Muslim dengan pemahaman dan kesadaran mendalam. "Orang-orang muda itu tidak memiliki pekerjaan atau masa depan sehingga sangat mudah untuk diindoktrinasi jika Anda menawarkan sebuah mimpi besar," kata Fraihi menegaskan.