Sabtu 09 Jan 2016 00:45 WIB

Pansus Freeport Diminta Segera Ditindaklanjuti

Politikus Golkar Setya Novanto (tengah) usai membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR pada sidang paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (18/12).(Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Politikus Golkar Setya Novanto (tengah) usai membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR pada sidang paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (18/12).(Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum Margarito mengatakan, usulan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) PT Freeport Indonesia yang bergulir sejak akhir tahun lalu di DPR, sebaiknya segera ditindaklanjuti. Tujuannya untuk menyelidiki dugaan persoalan yang menyangkut perusahaan tambang emas dan tembaga di Papua itu.

"Keberadaan Pansus Freeport DPR RI saat ini sangat penting di tengah upaya Freeport Indonesia untuk memperoleh perpanjangan izin ekspor yang berakhir pada 28 Januari 2016. Kepastian perpanjangan kontrak karya yang berakhir pada 2021 dan rencana divestasi 10,64 persen saham Freeport Indonesia pada tahun ini," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/1).

Ia mengatakan, pansus perlu segera di bentuk dan secepatnya memanggil pihak-pihak terkait dan mereka yang terlibat dalam persoalan Freeport. Salah satu pertanyaan publik terkait perpanjangan izin dan kontrak karya pertambangan Freeport Indonesia adalah adanya surat salah satu menteri bernomor 7522/13/MEM/2015 kepada CEO Freeport McMoran James R Moffet tertanggal 7 Oktober 2015. Surat tersebut merupakan tanggapan atas permohonan perpanjangan?kontrak Freeport Indonesia.

Padahal, sesuai peraturan perundang-undangan mengenai perpanjangan kontrak karya itu baru bisa dibahas pada 2019 atau dua tahun sebelum kontrak karya berakhir. Namun dalam suratnya disinggung mengenai upaya melanjutkan proses penyelesaian aspek legal dan regulasi pada dasarnya PT Freeport Indonesia dapat terus melanjutkan kegiatan operasinya sesuai dengan Kontrak Karya hingga 30 Desember 2021.

Menurut Margarito, pembentukan Pansus Freeport ini agar persoalan terang benderang dan tidak berhenti pada masalah pertemuan, antara pimpinan Freeport dan pimpinan DPR yang akhirnya memicu kegaduhan. Status perkara itu saat ini baru sebatas penyelidikan oleh Kejaksaan Agung.

Ia berkata, masalah Freeport adalah persoalan kedaulatan bangsa. Jadi meski menyangkut perusahaan besar tapi mengenai harga diri bangsa juga penting. "Karena itu pihak yang terkait dan berhubungan dengan Freeport harus dimintai keterangan oleh pansus," katanya.

Sebelumnya Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Prof Andi Hamzah menilai tidak ada unsur pemufakatan jahat yang dilakukan mantan ketua DPR, Setya Novanto dalam kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden di perpanjangan kontrak Freeport yang sedang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ia berpendapat, dalam rekaman yang disadap Presiden Direktur PTFI Maroef Sjamsoeddin dalam pertemuan dirinya dengan Novanto dan pengusaha Riza Chalid, yang juga menjadi alat bukti Kejagung dalam kasus ini, sama sekali tidak memenuhi unsur atau niat pemufakatan.

Andi menjelaskan pemufakatan jahat dalam bahasa ahli dalam KUHP yang masih berbahasa Belanda ‘samenspanning’, bahasa Inggrisnya ‘conspiracy’, bahasa sehari-hari ‘persekongkolan’, tercantum dalam pasal 88 KUHP. Pasal tersebut berbunyi pemufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.

“Bahasa aslinya ‘samenspanning bestaat zoodra twee of meerdere personen overeengekomen zijn om het misdrijf te plegen’. Jadi permufakatan jahat dalam pasal 88 itu ada kesepakatan dua orang atau lebih. Kalau persiapan kejahatan itu bisa disiapkan satu orang, misalnya terorisme, tapi kalau persiapan buat korupsi belum,” ujar Prof Andi Hamzah dalam diskusi bertema ‘Wajah Korps Adyaksa 2016 dimata Parlemen dan publik’ di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (7/1).

Menurut Mantan Staf Ahli Jaksa Agung ini, dalam kasus dugaan 'pemufakatan jahat' yang diduga dilakukan Novanto harus ada dua orang atau lebih yang menyetujui, tidak bisa dilakukan seorang diri. Sebab, kata dia, tidak semua delik berlaku pemufakatan jahat, hanya terhadap delik kejahatan terhadap keamanan negara dan Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.

“KUHP membatasi tidak semua kejahatan, hanya tiga kejahatan yakni, pembunuh presiden, pemberontak dan menggulingkan pemerintah. Kemudian juga bermufakat tipikor itu harus disebut korupsi yang mana,” jelas Andi

Andi menambahkan, untuk melakukan suap menyuap maka harus ada dua pihak. Kemudian bermufakat korupsi untuk memeras.

“Kalau satu unsur pidana tidak ada, maka tidak ada pidana. Jadi apa yang saya utarakan bukan pada satu kasus, tapi semua kasus. Harus memenuhi unsur pidana,” tandasnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement