REPUBLIKA.CO.ID,Fenomena lesbian, gay, biseksual dan transseksual (LGBT) menjadi sorotan, tak hanya di Indonesia tetapi juga negara luar. Denmark, menjadi negara pertama yang mengakui eksistensi LGBT dalam undang-undang mereka pada 1989. Namun, Belanda, adalah negara pertama yang melegalkan pernikahan LGBT pada 2001. Langkah kontroversial Belanda ini kemudian diikuti oleh sepuluh negara lain antara lain Belgia, Kanada, Spanyol, dan Afrika Selatan.
Pew Research Center, melansir negara-negara terutama di kawasan Eropa dan Amerika mulai mempertimbangkan pengakuan hukum untuk pernikahan kaum LGBT. Sedikitnya ada 23 negara yang telah memiliki hukum nasional untu melegalkan pernikahan sejenis. Polemik LGBT juga ternyata meresahkan khalayak negara-negara di Timur Tengah. Pro dan kontra semakin menguat, terutama menyusul pelegalan Mahkamah Agung Amerika Serikat terhadap pernikahan sejenis pada 2015. Bagaimanakah sikap negara-negara Timur Tengah menyikapi fenomena ini?
Secara umum, negara-negara di Timur Tengah masih menganggap bahwa LGBT menyimpang dan ilegal dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran. Bahkan, tercatat ada lima negara di kawasan ini yang memberikan sanksi hukuman mati bagi para pelaku LGBT yaitu Arab Saudi, Yaman, Sudan, Iran, dan Meuritania.
Sikap represif juga ditunjukkan oleh Mesir terhadap pelaku LGBT. Otoritas negeri piramida ini, menyatakan LGBT adalah tindakan pelanggaran. Pada 2013, pihak kepolisian setempat menangkap 10 tersangka LGBT di Provinsi Giza. Tahun berikutnya, Polisi Adab Mesir menangkap enam LGBT yang tengah berasyik masyuk di sebuah apartemen Kota Kairo.
Kendati demikian angka LGBT di negara ini cukup tinggi. Tak kurang dari 100 ribu warga Mesir terindikasi LGBT, menurut pengakuan LSM al-Ahibba. Kairo menjadi markas dengan jumlah anggota terbesar di bandingkan dengan provinsi lain diperkirakan mencapai 7 ribu orang. Menyusul kemudian Giza dan Alexandria. Tak heran bila WHO melansir pada 2009, sebanyak 6,3 persen pria gay positif HIV!
Gerakan LGBT di Timur Tengah pun mulai berani terang-terangan. Libanon, tercatat negara di kawasan pertama yang diserang oleh virus ini secara terbuka. Pada 2005, LSM yang menamakan dirinya Hilm berkampanye dan membela LGBT. Organisasi ini berupaya mendapatkan izin resmi dari Kementerian Dalam Negeri Libanon, namun publik setempat menolak keras. Massa turun ke jalan untuk menentang keberadaan LSM yang meresahkan ini. Tak terhenti di sini, pada 2009, buku berjudul Barid Musta’jil (Surat Mendesak), membuat heboh Libanon. Buku ini memuat kisah 41 tokoh anonim pelaku LGBT di negara tersebut.
Sikap represif pemerintah tak sepenuhnya mampu membendung penyimpangan seksual LGBT di kawasan ini. Di negara teluk saja misalnya, terungkap 40 persen perempuannya terindikasi lesbi, berdasarkan data yang disampaikan oleh Prof ‘Aliyah Syu’ab dalam program “Idhaat” yang ditayangkan Stasiun Televisi Alarabiya 1 Okteber 2004. Demikian juga di Arab Saudi. Menurut Dr Abdullah as-Sab’i, konsultan psikologi Universitas King Saud, Riyadh, menyebutkan 70 persen remaja putri di negara ini terjangkit penyimpangan seksual dan enggan menjalin hubungan dengan lawan jenis.