REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia pada 2015. Menurut Kepala BPS Suryamin, Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia tahun 2015 diketahui sebesar 3,59 dalam skala 0 sampai 5.
Angka ini sedikit lebih rendah 0,02 poin dibandingkan capaian tahun sebelumnya, 2014, yakni 3,61. Artinya, perilaku antikorupsi masyarakat Indonesia menurun.
"Nilai indeks semakin mendekati lima menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, nilai IPAK yang semakin mendekati nol menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi," jelas Suryamin dalam jumpa pers di kantor pusat BPS, Jakarta, Senin (22/2).
Data yang dikumpulkan BPS mencakup dua hal. Pertama, penilaian masyarakat terhadap kebiasaan korupsi. Data ini menghasilkan Indeks Persepsi Antikorupsi.
Kedua, pengalaman langsung pada 10 jenis pelayanan publik yang menyangkut penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Data tersebut menghasilkan Indeks Pengalaman Antikorupsi.
Adapun 10 pelayanan publik yang dimaksud, menurut Suryamin, yakni pengurusan surat administrasi pada level RT/RW, kantor kelurahan/desa, kantor polisi, kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN), rumah sakit, sekolah-sekolah negeri, lembaga peradilan, kantor urusan agama (KUA), dinas kependudukan, dan dinas pertanahan.
Suryamin menunjukkan, berdasarkan survei tahun 2015 itu, Indeks Persepsi Antikorupsi masyarakat Indonesia (3,73) lebih tinggi ketimbang Indeks Pengalaman Antikorupsi (3,39). Dibandingkan tahun 2014, Indeks Persepsi Antikorupsi sebesar 3,71 poin, sedangkan Indeks Pengalaman Antikorupsi sebesar 3,49 poin.
Bila ditilik dari tahun 2012 hingga 2015, ada tren peningkatan dalam hal Indeks Persepsi Antikorupsi. Sebaliknya, dalam periode yang sama, Indeks Pengalaman Antikorupsi trennya menurun.
"Dengan kata lain, terkesan masyarakat semakin membenci korupsi (idealis) namun tidak sejalan dengan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari," ungkap Suryamin.