Senin 07 Mar 2016 15:44 WIB

Pakar Astronomi ITS Imbau Masyarakat Pakai Pelindung Mata Saat GMT

Rep: Binti Sholikah/ Red: Andi Nur Aminah
Pengrajin menunjukan kacamata dengan filter khusus yang digunakan untuk melihat fenomena gerhana matahari di Jogja Astro Club, Soropadan, Condongcatur, Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (4/3).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Pengrajin menunjukan kacamata dengan filter khusus yang digunakan untuk melihat fenomena gerhana matahari di Jogja Astro Club, Soropadan, Condongcatur, Depok, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (4/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -– Fenomena alam Gerhana Matahari Total (GMT) diperkirakan akan terjadi pada Rabu (9/3) mendatang. Pakar astronomi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Bintoro Anang Subagyo, mengimbau agar masyarakat menggunakan pelindung mata untuk menyaksikan fenomena alam langka ini. 

Dia mengatakan, sebenarnya tidak butuh alat mahal untuk aman melihat gerhana matahari. Masyarakat awam bisa membuat pinhole, menggunakan kedok las, atau membeli kacamata khusus gerhana. Harganya juga tidak mahal, hanya sekitar Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.

Bintoro menjelaskan, pinhole bisa dibuat dengan memberikan lubang kecil pada kertas karton atau kardus yang ditempeli aluminium foil. Lubang tersebut berfungsi menangkap sinar matahari yang kemudian diproyeksikan pada kertas putih untuk pengamatan. 

Dia menambahkan, justru yang membahayakan itu menatap secara langsung proses gerhana matahari total tersebut. “Kalau saat matahari tertutup total tidak masalah. Namun ketika matahari muncul kembali dengan intensitas cahaya yang tinggi dan pupil mata kita tidak siap, itu yang bahaya,” jelasnya dalam siaran pers, Senin (7/3).

Meski demikian, ia juga melarang masyarakat melihat GMT hanya dengan menggunakan kacamata hitam biasa. Meski pun mata bisa melihat matahari secara langsung dengan kacamata hitam, namun saat itu pupil mata telah beradaptasi sempurna. Menurutnya, alat bantu pengelihatan yang  baik adalah yang mampu mereduksi cahaya hingga 100 ribu kali. Sedangkan kacamata hitam tidak mampu mereduksi cahaya sebanyak itu.

Bintoro mengatakan, akibat paling parah yang ditimbulkan dengan melihat gerhana matahari dengan cara salah adalah kebutaan. Terkadang, lanjutnya, penglihatan juga menjadi kabur. “Uniknya, gangguan penglihatan ini tidak terjadi secara langsung setelah melihat gerhana, namun bisa terjadi berhari-hari hingga berminggu-minggu setelahnya,” ungkap dosen Fisika FMIPA ITS tersebut.

Dia menilai fenomena langka seperti GMT ini sangat baik untuk disaksikan oleh masyarakat. Sebab, akan merangsang masyarakat memiliki pola berpikir ilmiah dan meningkatkan rasa keingintahuan terhadap fenomena alam.

Dia mengungkapkan, sebenarnya gerhana matahari hampir setiap tahun terjadi, hanya saja tidak terjadi di tempat yang sama. Ia mencontohkan, pada Agustus 2017 mendatang juga diperkirakan akan ada GMT, namun hanya menjangkau wilayah Amerika Utara yang bisa menyaksikannya. Diperkirakan, Indonesia akan mengalami GMT lagi sekitar 30 tahun ke depan. “Namun tidak menutup kemungkinan adanya gerhana matahari parsial, cincin, dan sebagainya,” ujarnya. 

GMT kali ini akan melewati beberapa lokasi di Indonesia, di antaranya Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sedangkan untuk kota Surabaya hanya dapat menyaksikan gerhana matahari sebagian. Nantinya, beberapa mahasiswa ITS dibantu dosen Fisika juga akan melakukan pengamatan GMT di kawasan Kenjeran.

Untuk wilayah Surabaya, masyarakat dapat menyaksikan gerhana matahari total ini sekitar pukul 06.21 - 08.39 WIB. Namun, yang tertutup di daerah ini hanya 83 persen. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement