Kamis 10 Mar 2016 16:00 WIB

‘Saya Harus Jadi Perkasa’

Rep: c26/ Red: Friska Yolanda
Petugas kebersihan sedang membersihkan trotoar di salah satu sudut Kota Bandung.
Foto: c26
Petugas kebersihan sedang membersihkan trotoar di salah satu sudut Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, Teriknya matahari siang pada Senin (7/3) pukul 11.00 WIB ini tak membuatnya bermalas-malasan. Helai demi helai dedaunan dibersihkan. Puing sisa makanan dan puntung rokok yang tergeletak dipungutnya.

Yeni Marlina merupakan petugas penyapu jalan Kota Bandung. Di bawah naungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung perempuan 40 tahun ini menggantungkan hidupnya dan keluarganya.

Bekerja enam jam dalam sehari di pinggir jalan, Yeni memastikan trotoar di pinggir Jalan RE Martadinata tetap bersih. Dilengkapi seragam khas petugas kebersihan dan masker di wajahnya, Yeni sigap mengayunkan sapu lidi dan plastik sampah.

Baru pada awal Januari 2016, Yeni memulai pekerjaan ini. Pekerjaan yang menurutnya biar dipandang rendah, tapi membawa berkah karena halal.

Kondisi ekonomi yang membuatnya harus ikut banting tulang. Hal ini dilakukannya demi membantu suami dan menyekolahkan anak semata wayangnya yang menginjak kelas 1 SMP. “Saya harus menjadi perkasa untuk keluarga,” ujar Yeni singkat penuh arti mendalam.

Dengan gaji Rp 1,3 juta per bulan, Yeni bekerja mulai pukul 11.00 WIB hingga 17.00 WIB. Uang itu jauh lebih baik dari upah pekerjaan sebelumnya menjadi buruh cuci. Hitung-hitung, sebagai tambahan pemasukan bulanan untuk hidup keluarganya.

Mengandalkan gaji tidak tetap dari suaminya yang hanya sales perabot rumah tangga, tentu tidak akan cukup. Apalagi, Yeni tak ingin anaknya putus sekolah hanya karena tidak ada biaya.

Pekerjaan yang didapatkan dari tetangganya ini bukan yang pertama. Sejak muda, ia sudah bekerja selama delapan tahun di sebuah pabrik di Batam. Tempat ini juga yang menakdirkannya bertemu suaminya saat ini. 

Delapan tahun bekerja di pabrik, duka lara telah dirasakannya. Pernah ia harus bekerja 12 jam saat mengandung anak pertamanya. Namun, itu dianggapnya perjuangan untuk mengumpulkan uang agar dapat kembali ke kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah.

(Baca: Hak Pekerja Perempuan Kota Bandung Masih Diabaikan)

Meski sudah bersuami, ia tak lantas ongkang-ongkang kaki meminta jatah bulanan. Sadar dengan kondisi ekonomi keluarganya, ia pun menjadi buruh cuci dan setrika. Delapan tahun dijalaninya menjadi seorang buruh cuci dengan penghasilan Rp 30 ribu. “Asal halal, tidak masalah perempuan harus bekerja,” ujarnya.

Meski bekerja, perhatian kepada anaknya tak dilupakan. Ia terus membimbing agar anaknya tetap sekolah dan belajar dengan giat agar dapat meningkatkan derajat keluarganya.

Berasal dari keluarga broken home, Yeni merasakan perjuangan sosok ibu kepada anaknya sangat besar. Hal ini dijadikan panutan agar tidak mengeluh. Termasuk, dalam bekerja menjadi penyapu jalan.

Di tempat yang berbeda, perempuan paruh baya dengan banyak kerutan di wajahnya itu tampak asyik mengulek rujak. Di pinggiran jalan Ibrahim Adjie, Ibu Asih (57) membuka lapak usahanya. Menjual rujak, lotek, dan karedok. 

Tahun demi tahun, ia jalani usaha kecil-kecilannya. Ditinggal sang suami menghadap Tuhan terlebih dahulu, ia harus berjuang sendiri, meskipun dua anaknya sudah berkeluarga.

Baginya, tidak ada alasan untuk bermanja dengan anaknya meskipun usianya sudah setengah abad. “Buat tabungan beliin jajan cucu,” ujarnya.

Baginya, perempuan bukan makhluk lemah yang berpangku tangan. Perempuan harus membuktikan kemandirian dan kekuatannya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement