REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ribuan sopir taksi, bus, dan pengemudi angkutan umum melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, pada Senin (14/3). Mereka menuntut angkutan umum berbasis online dilarang beroperasi, karena merugikan angkutan umum normal.
Pengamat Transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai wajar kerugian tersebut. Sebab, taksi online bisa menawarkan harga yang murah lantaran tidak membayar pajak, asuransi dan KIR kendaraan kepada pemerintah.
"Demikian juga hal yang sama dengan gojek, selain kendaraanya juga tidak masuk kategori transportasi umum," katanya.
Ia mengatakan, merujuk pada UU nomor 22 tahun 2009 tentang LLAJ, perusahaan angkutan umum wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang meliputi kenyamanan, keselamatan, keterjangkauan, keteraturan dan kenyamanan. Selama ini, dia menilai, perusahaan angkutan umum online belum memenuhi peraturan tersebut.
"Pengusaha angkutan umum harus patuh UU, ini juga demi perlindungan bagi konsumen," ujarnya.
Djoko mengatakan pemerintah wajib hadir untuk melindungi pengguna jasa angkutan umum dan pengusaha angkutan umum resmi. Transportasi umum, lanjutnya, sudah merupakan kebutuhan dasar layak pendidikan, kesehatan, perumahan, sandang dan pangan.
"Aplikasi tidak masalah, tapi jangan merevisi dengan cara memasukkan sepeda motor sebagai transportasi umum. Dalam masa transisi, ojek masih dapat operasi dalam wilayah yang terbatas," jelasnya.
Sementara salah seorang peserta aksi, Joni mengaku akan terus melakukan demonstrasi, paling tidak hingga pemerintah merespon tuntutan mereka. Dia meminta pemerintah segera membuat regulasi yang jelas terkait keberadaan angkutan umum online tersebut.
"Kalau saya nggak bisa nyalahin pelanggan karena hak mereka untuk memilih. Tapi pemerintah seharusnya bisa membenahi hal itu," katanya lagi.