REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta membuat regulasi agar investor global tetap bertahan berinvestasi di Indonesia, sehingga tidak langsung menghentikan bisnisnya, seperti kasus Ford Indonesia.
Kebijakan dimaksud tidak hanya mencakup kemudahan berbisnis, semisal pemberian insentif dan keringanan pajak, tetapi juga mampu mendesain kebijakan yang mampu membuat investor tertarik berbisnisIndonesia.
Direktur Eksekutif Energi Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, saat ini Indonesia dan negara-negara di dunia tengah dihantui gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tambang dan energi. Selain gelombang PHK, akibat industri sektor energi yang tengah lesu, investor di sektor energi untuk berinvestasi di Indonesia banyak yang melakukan reviewportofolio-nya.
Menurut Marwan, industri tambang dan migas memang tengah mengalami masa-masa sulit. Tidak hanya spesifik di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Bahkan di Amerika, sudah banyak perusahaan sektor energi yang bangkrut, terutama perusahaan kecildengan kapasitas tambang minyak dan gas yang biaya produksinya kan sekitar Rp 50 – 60 juta per barel. Hitungan bisnis tersebut akan membawa perusahaan mengambil keputusan untuk mengurangi karyawan atau menghentikan kegiatan produksi atau menunda investasi.
Khusus di Indonesia, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo perlu membuat kebijakan terobosan, terutama untuk mengatasi masalah birokrasi perizinan dan peraturan pajak. Pajak sudah dikenakan saat kegiatan eksplorasi, padahal pertambangan belum produksi. Sementara, peraturan untuk mengoreksi hal itu belum diterbitkan.
“Jadi, bereskan saja yang saat ini sudah diketahui penyebab kurang bersemangatnya investor. Kalau perlu insentif, ya terbitkanlah insentif itu dan ukurannya bisa kita lihat di luar negeri seperti apa,” ujar Marwan di Jakarta, Rabu (23/3).
Menurut marwan, pemerintah perlu melihat hal yang membuat investor tidak melakukan PHK karyawan atau investasinya tetap jalan, sehingga kegiatan operasi bisa tetap dijalankan. Pemerintah dapat menawarkan hal-hal yang bisa membuat kegiatan operasional bisa tetap berlangsung.
Di Malaysia, kata Marwan, mereka memberikan insentif untuk wilayah frontir atau wilayah terpencil untuk memberikan bagi hasil yang lebih besar dibanding yang biasa. “Semestinya Indonesia dapat melakukan itu.”
Pemerintah juga diminta mendesain kebijakan tidak hanya melulu soal kemudahan berbisnis. Setidaknya, jika pemerintah tidak bisa memberikan insentif, paling tidak perusahaan global yang kesulitan bernafas diharuskan punya jeda waktu minimal setahun untuk terus menjalankan bisnisnya sebelum hengkang dari Indonesia. Hal ini merujuk pada peristiwa berhenti beroperasinya Ford Motor Indonesia (FMI) pada akhir Januari 2016 lalu.
Saat ini, kata Marwan, investor global bisa kapan saja lari dari Indonesia karena belum ada regulasi yang mengatur. “Mereka lebih mempertimbangkan dasar hitung-hitungan ekonomi finansial dan kelayakan secara bisnis,” kata Marwan.
Atas dasar itulah, ke depan pemerintah perlu mengantisipasi hal ini agar tidak terulang. Menurut dia, pemerintah perlu mengantisipasi akibat paling parah bila kondisi sektor energi tidak segera dibenahi. Ancaman terbesar apabila investor sudah tidak lagi tertarik berinvestasi di Indonesia adalah impor semakin besar dan ketergantungan impor itu bisa sewaktu-waktu mengancam ketahanan energi. “Ujung-ujungnya, bisa membuat krisis ekonomi.”
Seperti diketahui, saat ini gelombang PHK tengah menerjang sektor energi. Di negara-negara lain, gelombang PHK menerjang perusahaan-perusahaan global. Heillong Longmay Mining asal China telah memberhentikan 100 ribu orang karyawan. Schlumberger, Chevron, Halliburton dan Chevron di Amerika Serikat masing-masing telah mem-PHK 34 ribu orang, 20 ribu orang, dan 1.500 orang.
Di dalam negeri pun demikian. Di sektor migas, pada Februari 2016 lalu, PT Chevron Pacific Indonesia sudah resmi mengirimkan surat rencana PHK terhadap 1.200 karyawannya kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Supriatna Sahala menyatakan, perusahaan-perusahaan sektor tambang dan migas skala global mulai me-review portofolio bisnis mereka di Indonesia. Bila dimungkinkan, mereka akan fokus ke lokasi-lokasi pertambangan mereka di negara lain yang lebih mendatangkan keuntungan.