REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perseteruan antara taksi dan angkutan umum konvensional dengan transportasi berbasis daring (online) menjadi persoalan yang harus segera ditangani pemerintah. Hal ini agar tak ada lagi aksi unjuk rasa dari pihak yang merasa dirugikan dan berujung dengan kericuhan seperti Selasa (22/3) lalu.
Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan mengatakan persoalan ini sebenarnya bukan lagi hal yang baru. Sejak tahun lalu, polemik angkutan umum konvensional dan berbasis online sudah terjadi. Hal ini, menurutnya menunjukan bahwa kinerja pemerintah dalam menyediakan angkutan layanan publik yang baik masih lamban.
"Pemerintah masih lamban menangani masalah yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun lalu ini. Seharusnya, pemerintah segera fasilitasi transpotasi berbasis online yang juga dibutuhkan masyarakat,"ujar Azas Tigor kepada Republika, Jumat (25/3).
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) ini menjelaskan, transportasi berbasis online dianggap tidak memenuhi syarat hukum karena izin operasional yang belum lengkap. Padahal, keberadaannya diperlukan masyarakat, mengingat secara ketentuan yang tertera dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), angkutan telah memenuhi kriteria yang layak. Kriteria ini diantaranya adalah aman, nyaman, harga terjangkau, dan mudah diakses.
"Jadi pengusaha yang bergabung dengan aplikasi online ini yang difasilitasi oleh pemerintah agar resmi izin transportasinya. Selama ini kan mereka bisa menyediakan angkutan yang layak, hanya kurang syarat hukumnya saja," jelas Azas Tigor.