Jumat 25 Mar 2016 16:03 WIB

Regulasi Transportasi Dinilai Perlu Ditata Ulang

Warga mencari transportasi dengan aplikasi online di Jakarta, Kamis (17/3).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Warga mencari transportasi dengan aplikasi online di Jakarta, Kamis (17/3).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Rizal E. Halim menilai solusi yang terbaik atas polemik taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi adalah penataan kembali sistem dan regulasi transportasi secara keseluruhan.

"Jika perlu ke seluruh sektor sekaligus mempersiapkan arsitektur kebijakan yang tepat di tengah arus perubahan," katanya di Depok, Jumat (25/3).

Untuk jangka pendek, katanya pemerintah dapat melakukan sinkronisasi data dengan taksi online untuk memperlancar sistem data transportasi (di samiping izin usaha dan kewajiban pajak).

Sedangkan terkait tarif, pemerintah dapat meninjau penerapan sistem tarif bawah yang sudah kuno. Taksi konvensional juga perlu untuk berbenah diri dan beradaptasi dengan perubahan zaman.

Ini tidak akan memakan waktu lama sepanjang ada keinginan dan keseriusan Pemerintah. Rizal menjelaskan Grab dan Uber merupakan fenomena yang biasa disebut "The Gig Economy" atau "On-Demand Economy". Model ekonomi ini berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir.

Model ekonomi jelasnya merubah lanskap dan struktur industri yang sudah bertahan beberapa dasa warsa terakhir ini. Ini bisa kita lihat apa yang terjadi di industri media, industri ritel dan industri lainnya. "Menentang 'The Gig Economy' sama dengan menentang arus peradaban yang begitu kuat," katanya.

Makanya lanjut dia fenomena Uber juga terjadi di sejumlah negara maju.  "The Gig Economy" tidak hanya merubah lanskap persaingan usaha tetapi juga menghadirkan model pasokan tenaga kerja yang baru, memutus rantai pemusatan sumber daya ekonomi yang selama ini banyak dinikmati pemilik modal besar, membuat industri yang ada menjadi tidak relevan, dan yang menarik adalah model ekonomi ini di lahirkan oleh generasi Y yang melek digital.

Dikatakannya sebenarnya gejala "The Gig Economy" sudah ada sejak pertama kali diperkenalkannya surat elektronik (E-mail). Kehadiran surat elektronik ini bisa dikatakan menghancurkan bisnis PT Pos Indonesia.  Surat menyurat menggunakan jasa pos kemudian banyak ditinggalkan.

Apakah pos kemudian mengeluh kepada para provider surat elektronik Atau misalnya kehadiran telepon genggam yang berbasis layanan suara menekan pendapatan Telkom khususnya untuk sambungan fix-line. Dan saat ini telekomunikasi berbasis layanan suara terancam dengan hadirnya telekomunikasi berbasis layanan data.

Contoh lain adalah industri ritel seperti Supermarket, Minimarket, Departmen store, minimarket, dan sebagainya kini diperhadapkan dengan fenomena e-retailing (toko online) yang tumbuh demikian pesatnya.

Dan banyak lagi fenomena "The Gig Economy" . Menentang "The Gig Economy", menurut dia, ibarat melawan arus zaman. Dan ini akan menghasilkan residu yang buruk tidak hanya bagi proses pembangunan tetapi juga bagi sejarah peradaban kita.

"The Gig Economy" akan terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Perkembangan dunia internet telah membawa kita ke zaman yang sangat berbeda dengan zaman 10,20, 30 tahun lalu. Interaksi menjadi sangat individual dan independen.

Pola hubungan juga tidak terbatas hingga menembus ruang dan jarak. Pola, struktur, kultur, dan berbagai infrastruktur-suprastruktur kehidupan kini harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan zaman dan peradaban baru.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement