Sabtu 26 Mar 2016 19:31 WIB

Pemerintah Dianggap Abai Lindungi Bahasa Nasional

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Winda Destiana Putri
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional kini mulai terancam eksistensinya.

Sebab, penggunaan bahasa asing di berbagai tempat maupun media masa kian masif. Hal tersebut semakin diperparah dengan ketidakpedulian pemerintah untuk memperkuat regulasi demi melindungi bahasa nasional.

Mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) antara tahun 1992-2001 Hasan Alwi menyatakan, semakin tergerusnya nilai-nilai bahasa Indonesia saat muncul belantara bahasa Inggris, yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

''Timbulnya hutan belantara bahasa Inggrisi ini tampaknya terjadi karena semacam pembiaran sistemik,'' kata Alwi, dalam sebuah diskusi bertema 'Bahasa Indonesia Kalah Oleh Modal Cina', di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (26/3).

Menurut Alwi, ada perbedaan yang kontras pola perlindungan Bahasa oleh Presiden Soeharto, dengan pemimpin-pemimpin pasca Reformasi. Padahal, ketika itu belum ada perundang-undangan bahasa, tapi gegap gempita penanaman nilai-nilai bahasa Indonesia sangat luar biasa.

Bagaimana tidak, setiap kata-kata asing, terutama yang berbahasa Inggris diupayakan untuk dibahasa Indonesiakan.

''Sekarang sudah ada undang-undangannya, institusinya juga naik ke eselon I, tapi malah ada pembiaran. Jadi, benar bahwa yang penting bukan UU, tapi keteladanan dari atas,'' ucap Doktor Bidang Linguistik dari Universitas Indonesia tersebut.

Ia mengatakan, sejak 1998, tidak ada kehendak politik terhadap masalah-budaya. Semua orang sibuk mengurusi hal-hal yang berbau politik dan ekonomi, sehingga persoalan bahasa dikesampingkan.

Bahkan, sejak reformasi timbul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dimana-mana dengan berbagai latar belakang. Tapi, LSM yang berhubungan dengan bahasa justru tidak ada sama sekali.

''Akibatnya, bahasa Indonesia di dalam negeri sendiri kedodoran,'' terang dia.

Alwi menambhkan, penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta ini telah menunjukan tingkat kerapihan budaya yang unik. Apabila diperhatikan dengan baik, peta jumlah penduduk dari Indonesia barat ke Indonesia timur memperlihatkan hal yang berlawanan.

Di belahan barat, dengan jumlah penduduk yang lebih banyak daripada timur, justru jumlah bahasanya lebih sedikit daripada Indonesia timur. Hal tersebut bisa dilihat dari keragaman bahasa yang ada di Sumatera dengan Papua termasuk Jawa.

Oleh karena itu, Alwi meminta pemerintah untuk meniru cara-cara negara Asia Timur seperti Korea, Jepang dan Cina. Sebab, yang berkepentingan melindungi bahasa nasional adalah pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melalui badan bahasa.

Ajip Rosidi, sejarawan Indonesia, mengakui tidak semua negara yang menyatakan kemerdekaan namun sudah memiliki bahasa nasional, hanya Indonesia. India saja ketika merdeka justru memiliki 16 bahasa. Begitu juga dengan Malaysia yang mempunyai tiga bahasa.

Karena itu, sangat disayangkan jika rakyat Indonesia malah meninggalkan bahasanya sendiri, dan malah ikut-ikutan membanggakan bahasa asing.

Bahkan, kedua proklamator kemerdekaan Indonesia yaitu Soekarno dan M. Hatta, ketika pidato tidak pernah menggunakan selipan bahasa asing.

Padahal ketika sekolah mereka menggunakan bahasa Belanda.

''Tetapi, beberapa tahun belakangan, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tidak ada,'' sesalnya.

Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono misalnya, kerap kali menyelipkan bahasa Inggris saat berpidato.

Bahkan, lanjut Ajip, Jokowi lebih hebat lagi, karena keinginan kuat mendatangkan modal dari Cina,

maka dibuat aturan tenaga kerja asing yang tidak mewajibkan bahasa Indonesia.

''Pemerintah dalam hal ini tidak menghargai bahasa Indonesia. Pemerintah lebih mementingkan uang dibandingkan bahasa,'' tegasnya.

Pada 2009, pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 24 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam UU tersebut, Bahasa dan sastra nasional menjadi urusan pusat. Sementara bahasa dan sastra daerah jadi urusan daerah.

Hal ini dinilai sangat menunjukan ketidakpahaman pemerintah dalam melindungi Bahasa Nasional. ''Maka harus ada gerakan,'' seru dia.

Ketika Orde baru dibentuk pusat bahasa, yang tugas utamanya membuat Ejaan Yang Disesuaikan (EYD).

Sehingga, ketika ada kata yang akan diubah, akan timbul perdebatan panjang perlu atau tidaknya diubah suatu kata.

EYD, menurut dia, agar anak muda tahu sejarah. Karena saat ini banyak anak muda yang tidak peduli dengan sejarah. Pergeseran pemahaman makna bahasa Indonesia juga akibat dari media yang tidak memberikan pendidikan yang benar.

Anak muda saat ini juga dinilai tidak ingin membaca ejaan lama. Ia mencontohkan, ejaan produk, namun dibaca prodak.

''Tapi pusat bahasa diam saja, seharusnya kan datang ke perusahaan televisi untuk membenarkan ejaan bahasa.

Semestinya, mesti ada kesadaran tentang perlunya bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang paling berharga.

Menurutnya, ke Indonesiaan hanya ditemui pada bahasa Indonesia. Tidak ada pemberontakan itu karena bahasa atau karena budaya.

Tidak ada seorang pun yang berpikir menggantikan bahasa Indonesia dengan bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia merupakan satu-satunya kesatuan bangsa. Kalau bahasa nasional saja sudah tidak hargai dan dianggap penting, apa jadinya Indonesia.

''Sehingga harus ada yang memulai gerakan demi menyadarkan pemerintah bahwa bahasa Indonesia penting,'' ujar Ajip.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement