Kamis 31 Mar 2016 20:23 WIB

ICW: Stop Istimewakan Napi Narkoba

Petugas BNN Kota Depok membawa puluhan warga binaan untuk menjalani tes urine saat digelar razia narkoba bagi penghuni rutan di Rutan Kelas IIB Depok, Jawa Barat, Senin (14/3).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarsopd
Petugas BNN Kota Depok membawa puluhan warga binaan untuk menjalani tes urine saat digelar razia narkoba bagi penghuni rutan di Rutan Kelas IIB Depok, Jawa Barat, Senin (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menginginkan narapidana kasus korupsi untuk berhenti diistimewakan dan jangan pernah terjadi lagi kasus sel "mewah" atau fasilitas-fasilitas khusus lainnya bagi koruptor.

"Kami menuntut agar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melakukan penghapusan keistimewaan atau fasilitas khusus terhadap napi koruptor.

Aturan soal tata tertib napi selama di rutan dan lapas harus ditegakkan dan diberlakukan sama untuk semua narapidana, termasuk narapidana korupsi," kata Peneliti Hukum ICW Lalola Easter dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia mengingatkan bahwa perlakuan istimewa terhadap narapidana koruptor bukan baru satu kali saja terjadi pada lembaga pemasyarakatan di Indonesia, seperti Satuan Tugas Antimafia Hukum pernah melakukan sidak ke Lapas Pondok Bambu dan menemukan unit sel mewah milik terpidana perkara korupsi Artalyta "Ayin" Suryani pada tahun 2009.

Selain itu, lanjut dia, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga pernah melakukan sidak ke Lapas Sukamiskin pada tahun 2013, dan menemukan terpidana perkara korupsi menempati sel-sel mewah dengan fasilitas-fasilitas yang tidak sepantasnya diperoleh warga binaan.

"Hal ini menunjukkan bahwa masih buruknya kontrol dan perbaikan tata kelola lembaga pemasyarakatan, termasuk tidak berjalannya mekanisme sanksi bagi para sipir maupun kepala lapas yang turut melanggengkan perlakuan istimewa ini," katanya.

Meski banyak diprotes dan dinilai diskriminatif, kata dia, keistimewaan yang diterima oleh koruptor selama menjalani hukuman masih terjadi pada saat ini akibat keistimewaan yang diberikan oleh otoritas.

Misalnya, di Indonesia napi koruptor tergolong kasta tertinggi dan masuk kategori kelas elit dibandingkan napi dalam perkara pidana lainnnya.

"Jika di lain penjara mengalami minimnya fasilitas dan overkapasitas penghuni. Namun, hal ini tidak terjadi di Lapas Sukamiskin. Sepanjang koruptor dianggap sebagai raja, tidak akan muncul efek jera buat mereka," imbuhnya.

Untuk itu, dia menginginkan adanya perbaikan pengawasan terhadap para petugas lapas beserta jajaran yang berada di bawah pengampuannya, seperti Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat maupun Kalapas Sukamiskin.

Ia juga mendesak dilakukannya pergantian posisi terhadap para pihak yang diduga turut serta atau lalai dalam melakukan pengawasan terhadap napi, serta adanya audit terhadap kinerja pengelolaan lapas.

"Bentuk sebuah tim audit eksternal independen yang tidak berasal baik dari Kemenkumham maupun DPR RI," katanya.

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement