Selasa 05 Apr 2016 19:17 WIB

Nelayan Muara Angke Bakal Gugat Perda Retribusi ke MA

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bayu Hermawan
 Massa dari Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke melakukan aksi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (5/4). (Republika/Raisan Al Farisi)
Massa dari Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke melakukan aksi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (5/4). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas nelayan Muara Angke akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) terkait terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Retribusi Daerah. Mereka menggugat perda tersebut lantaran dinilai memperberat beban kehidupan para nelayan.

"Dalam waktu dekat kami akan melayangkan gugatan ke MA untuk membatalkan perda tersebut," kata salah satu nelayan Muara Angke, M Ramli (37 tahun) kepada Republika.co.id.

Ia mengungkapkan, para nelayan di daerahnya merasa kian tercekik dengan kehadiran Perda DKI No 1/2015. Pasalnya, dalam perda tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan secara sepihak untuk menaikkan retribusi lahan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) hingga berkali-kali lipat.

Selama ini, para nelayan pengolah ikan di Muara Angke hanya perlu mengeluarkan uang Rp 75 ribu untuk membayar retribusi satu unit lahan PHPT setiap bulannya. Aturan itu tercantum dalam Perda DKI No 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.

Namun, dengan diterbitkannya Perda DKI No 1 Tahun 2015, biaya retribusi yang harus dibayar nelayan kin menjadi Rp 100 ribu per meter persegi per bulan.

"Bayangkan, jika satu unit luasnya 125 meter persegi, berarti kami harus membayar Rp 12,5 juta per bulan. Ini jelas memberatkan kami," ujar Yudianto, nelayan Muara Angke lainnya.

Aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutapea menjelaskan, ada dua upaya yang bisa ditempuh para nelayan untuk membatalkan Perda DKI No 1/2015. Upaya pertama adalah meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menguji produk hukum yang telah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta tersebut.

"Kemendagri nanti akan melakukan kajian apakah perda itu layak direvisi atau dibatalkan," ujar Tigor.

Sementara, upaya lainnya adalah mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Agung. Di sini, MA akan menilai apakah perda yang dipersoalkan itu memang bertentangan dengan kepentingan umum, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti PP (peraturan pemerintah, keputusan presiden (keppres), dan undang-undang.

"Kewenangan MA itu sendiri telah diatur dalam Pasal 24A ayat 1 UUD 1945," ucapnya.

Menurut Tigor, kehidupan masyarakat nelayan Muara Angke saat ini memang tengah dipersulit oleh berbagai kebijakan Pemprov DKI Jakarta. Hal itu antara lain bisa dilihat dari program reklamasi Teluk Jakarta yang semakin mempersempit ruang penghidupan para nelayan setempat.

Tak hanya itu, munculnya wacana relokasi warga Muara Angke ke Kepulauan Seribu belum lama ini semakin membuat mereka resah.

"Sekarang, kehidupan nelayan semakin dibuat tak betah lewat penerbitan regulasi yang tidak menguntungkan mereka," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement