REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengungkapkan, pencantuman format pemilihan ketua umum dan ketua Formatur dengan musyawarah mufakat dalam rancangan tatib pemilihan ketua merupakan salah satu upaya menampung pendapat hukum dari Mahkamah Partai.
Bahkan, Arsul mengakui, pendapat hukum dari Mahkamah Partai ini sudah dikomunikasikan kepada Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di tingkat daerah sebelum digelarnya Muktamar VIII PPP.
Sebelumnya, perbedaan pendapat sempat mengemuka dalam sidang paripurna V tentang tata cara pemilihan Ketua Umum/Ketua Formatur dan anggota Formatur. Sebagian muktamirin mempertanyakan soal mekanisme pemilihan ketua umum dan ketua formatur yang ada di dalam rancangan tatib yang mengusulkan muswarah mufakat. Mereka menilai, musyawarah mufakat akan bertendensi mendorong aklamasi terhadap salah satu calon ketua umum.
Namun, Arsul menyebut, mekanisme musyawarah mufakat justru mendorong proses islah dan rekonsilasi PPP yang seutuhnya. "Karena diharapkan semua kelompok yang ada bisa tertampung, win-win arrangement. Kalau voting ada win-lose. Tentunya pihak yang menang itu kemudian ingin menyusun kepengurusan berdasarkan kelompoknya sendiri," tutur Arsul kepada wartawan di lokasi Muktamar VIII, Kompleks Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, Sabtu (9/4).
Tidak hanya itu, musyawarah mufakat itu merupakan pendapat hukum yang diusulkan oleh Mahkamah Partai sebelum gelaran Muktamar kali ini. Namun, Arsul menolak jika Muktamar VIII kali ini tidak demokratis dan cenderung dinilai otoriter. Pasalnya, pendapat hukum Mahkamah Partai itu sudah dikomunikasikan kepada DPW-DPW di daerah dan dirapatkan melalui Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil), yang dihadiri perwakilan DPW dan DPC.
Baca juga, Meski Kubu Djan Faridz tak Hadir, Romy Tegaskan Muktamar PPP Sah.