Oleh: Ahmad Islamy Jamil, Wartawan Republika
Sore itu, tawa riang anak-anak bau kencur terdengar riuh tatkala mereka menghabiskan waktu luangnya di dekat reruntuhan Kampung Akuarium Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Ada yang berjalan-jalan di atas tanggul rob, ada pula yang mengumpulkan besi bekas di antara puing-puing bangunan. Beberapa dari mereka terlihat masih mengenakan seragam sekolah.
Para bocah tak berdosa itu tak lain adalah putra-putri korban penggusuran yang rumahnya habis diluluhlantakkan oleh mesin-mesin alat berat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Senin (11/4) lalu. Tak jauh dari keriuhan tawa lugu anak-anak itu, belasan perahu nelayan tampak bersandar di sebuah dermaga kecil yang berada di bibir Kampung Luar Batang. Di atas perahu-perahu kayu nan lusuh itu, berjejal sejumlah peralatan rumah tangga. Mulai dari kasur, ember, lemari, galon air, hingga kulkas.
Barang-barang itu adalah milik para warga Kampung Akuarium Pasar Ikan yang kehilangan tempat bernaungnya sejak penggusuran. Mereka terpaksa mengungsi ke perahu-perahu nelayan itu untuk menyambung hidup yang kian tak menentu arahnya. "Di atas perahu yang kami huni sekarang ada dua keluarga yang menempati. Total semuanya ada delapan orang," ujar seorang korban penggusuran Pasar Ikan, Naisah (29), saat ditemui Republika, Rabu (13/4).
Naisah sebelumnya adalah penghuni sebuah rumah di RT 01 RW 04 Pasar Ikan. Rumah tersebut dibeli orang tuanya sejak 2002 lalu dengan status kepemilikan lahan berupa girik. Tapi apa lacur, huniannya itu kini sudah diratakan dengan tanah oleh Pemprov DKI Jakarta, lantaran dicap sebagai bangunan ilegal. Tak ada ganti rugi yang ia terima dari pemerintah.
Sejak penggusuran tersebut, derita hidup Naisah kian berat. Apalagi, sekarang ini ia tengah hamil tujuh bulan. Di tengah keadaan yang amat sulit itu, ia mesti berjuang keras mencari uang sambil menjaga janin di dalam kandungannya tetap sehat. Selama dua hari terakhir, perempuan yang memiliki profesi sebagai karyawati swasta itu harus keluar dari perahu setiap pagi buta untuk berangkat ke tempat kerjanya yang berada di Jakarta Barat. Sore harinya, sepulang kerja, ia kembali masuk ke perahu buat beristirahat.
Kondisi semacam itu jelas tidak baik bagi Naisah dan janinnya. "Tapi apa boleh buat, Mas. Kami yang rakyat kecil ini bisa apa? Siapa yang peduli?" ujarnya lirih.
Pengungsi lainnya, Supinah (52) menuturkan, beban hidupnya terasa kian berat setelah rumah yang ia huni di RT 01 RW 04 Pasar Ikan dibabat habis oleh aparat Pemprov DKI Jakarta. Kini, ia dan suaminya, Ahmad Jamal (63), harus menjalani kehidupan layaknya 'manusia perahu'. "Makan, mandi, mencuci, memasak, hingga buang air besar semuanya kami lakukan di atas perahu," ucap Supinah.
Nasib Jumiati (30) lebih bikin miris lagi. Korban penggusuran Pasar Ikan yang kini juga mengungsi ke perahu nelayan itu mengaku tidak mampu memasak makanan lantaran tak punya uang buat membeli bahan pangan. Untuk mengganjal perutnya selama dua hari belakangan ini, perempuan itu hanya mengandalkan nasi bungkus pemberian para donatur yang datang ke Luar Batang.
Kekhawatiran Jumiati bukan menyangkut urusan perut saja. Dua anaknya yang masih berstatus murid SDN 02 Petang Penjaringan kini juga ikut merasakan penderitaan yang semestinya tidak boleh dialami oleh bocah-bocah seusia mereka. "Anak-anak saya sekarang masih tetap pergi sekolah. Tapi tidur malam mereka nggak nyaman lagi karena di perahu ini banyak nyamuk," ungkapnya.
Di perahu yang ditempati Jumiati, ada tiga kepala keluarga yang mengungsi. Mereka tak tahu lagi ke mana harus mengadu. Sebab, masa depan mereka kini telah dibunuh oleh kebijakan penggusuran yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. "Biarlah Tuhan yang membalas kezaliman penguasa ini," ujar Jumiati.