REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemberian uang tebusan 50 juta peso (Rp 37,7 miliar) dari perusahaan untuk membebaskan 10 warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf akan memberi inspirasi negatif bagi kelompok teroris lainnya. Bisa jadi, kelompok teroris lain akan ikut-ikutan menyandera warga demi meminta tebusan.
“Akan ada implikasi seperti itu. Mungkin Santoso akan menyandera beberapa pejabat atau direktur-direktur perusahaan swasta untuk meminta tebusan. Itu menginspirasi mereka,” kata pengamat terorisme Al Chaidar kepada Republika.co.id, Selaa (19/4).
Pemerintah sebelumnya mengatakan tidak akan memberikan uang tebusan kepada para penyandera, namun nyatanya uang tebusan itu kini telah disiapkan oleh perusahaan. Chaidar memandang ini sebagai sesuatu yang wajar. Menurut di, politik memang harus berubah dan tidak boleh tetap.
Bila perlu, kata Chaidar, kebijakan penganggaran negara perlu diubah supaya dimasukkan nomenklatur pembayaran tebusan. “Harus disiapkan dananya, karena merupakan bagian dari dana mengatasi bencana,” ujarnya.
Chaidar mengakui pemberian uang tebusan pada penyandera terbilang merugikan mengingat akan menumbuhkan inspirasi negatif bagi kelompok teroris lain. Namun di sisi lain, pemberian uang tebusan mengandung lebih banyak manfaatnya terutama berkaitan dengan nyawa para sandera.
Dia menyebut harusnya ada kerjasama diam-diam antara Indonesia dan Filipina yang sifatnya tersembunyi dan tidak dipublikasikan ke media.
Kerjasama tersebut berupa pemberian izin bagi militer Indonesia beroperasi demi membebaskan para sandera. Itu harus jadi kerjasama militer antarnegara ASEAN atau setidaknya bilateral antara Indonesia dan Filipina. “Itu harus dikukuhkan dalam komtmen politik bersama,” kata Chaidar.