REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Balai Inkubator Teknologi (BIT) berkerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyelenggarakan inkubasi bisnis berbasis teknologi untuk memberikan pelatihan bagi masyarakat dalam rangka mendorong tumbuhnya "technopreneur" (pengusaha berbasis teknologi).
"Indonesia setidaknya membutuhkan technopreneur sebanyak 2 persen dari jumlah penduduk apabila ingin maju dengan cepat, saat ini jumlahnya baru mencapai 1,65 persen sehingga harus terus didorong," kata Ketua Yayasan Pengembangan Teknologi Indonesia, Marzan A Iskandar di Serpong Tangerang Selatan, Selasa (19/4).
Menurut Marzan jumlah technopreneur di Indonesia sebenarnya masih ketinggalan dibanding negara ASEAN lainnya. Sebagai gambaran di Singapura jumlahnya mencapai 7 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 3 persen.
Marzan mengatakan sumber daya alam di Indonesia sangat berlimpah sehingga sebenarnya dapat menjadi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan melalui inovasi dibidang teknologi.
"Seharusnya masyarakat serta generasi muda mulai melihat technopreneur itu sebagai pilihan karir yang cerah. Untuk itu sejumlah perguruan tinggi telah memasukannya ke dalam program perkuliahan," ujar Marzan.
Lebih jauh Deputi Kepala BPPT bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, Tatang Akhmad Taufik mengatakan sebagai tahap awal BIT dan BPPT menyelenggarakan workshop bertajuk "Technopreneur Camp 2016" dengan peserta dari masyarakat umum dan mahasiswa.
"Mereka kita undang setelah memasukan proposal rencana bisnis kepada BPPT melalui website BIT-BPPT dan TBIC (Technology Business Incubation Center) Puspiptek Serpong. Terdapat 126 proposal rencana bisnis yang masuk, sedangkan peserta yang kita undang sebanyak 100," kata Tatang.
Tatang mengatakan dari proposal rencana bisnis itu nantinya akan diseleksi mana saja dari peserta yang akan ikut serta dalam inkubasi. Selama inkubasi itu kami akan memberikan pelatihan sampai mereka mampu mandiri menjadi tecnopreneur.
Kriteria seleksi meliputi solusi permasalahan, produk, kapasitas calon technopreneur, proyek bisnis, serta Hak Kekayaan Intelektual dan sertifikasinya, papar Tatang.
Tatang mengatakan peserta sebagian besar merupakan pemula dibidang bisnis serta masih rendah dalam menggunakan teknologi. Namun mereka memiliki ide yang bagus untuk dikembangkan maka melalui inkubasi ini kita akan memberikan bimbingan sampai akhirnya ide tersebut dapat direalisasikan.
Tatang juga mengungkapkan sebagaimana umumnya para pengusaha yang tengah merintis usahanya adalah kendala permodalan. Namun Tatang memastikan setelah proses inkubasi ini akan ada lembaga pembiayaan termasuk bank yang siap untuk menggandeng sebagai mitra.
BIT dan BPPT selama masa inkubasi memang memberikan insentif namun sifatnya lebih berupa dukungan misalnya untuk industri makanan membutuhkan biaya untuk uji POM maka itu yang kita biayai atau untuk mereka yang bergerak dibidang industri animasi dan IT untuk biaya mengurus patennya kita siapkan.
Tatang mengatakan sudah ada kisah sukses Technopreneur diantaranya pencipta makanan kemasan siap saji yang kini dipergunakan BNPB dan BPBD saat terjadi bencana atau perangkat lunak yang mampu menterjemahkan suara menjadi tulisan yang kini dipergunakan KPK, serta banyak lainnya.
Sementara Kepala Puspiptek Sri Setiawati mengatakan peserta yang ikut inkubasi nantinya dapat belajar dari apa yang dikerjakan, mencari tahu kelemahan-kelemahan di lapangan untuk kemudian dilakukan perbaikan, serta mengembangkan produknya melalui riset.
Sri mengatakan sepertihalnya pengusaha maka technopreneur dituntut untuk memiliki kemauan apabila ingin berhasil, kesuksesan technopreneur apabila cepat bangkit dari kegagalan.