REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Berbatasan wilayah dengan negara tetangga, Kota Batam memiliki kasus HIV-AIDS yang cukup tinggi. Hal itu disampaikan Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Kota Batam, Sri Rupiati.
Sebab, lanjut dia, Singapura adalah negara dengan budaya pergaulan bebas. Di Batam, banyak pekerja asing maupun pendatang dari daerah luar yang menerapkan pergaulan bebas.
Hampir setara Singapura, Batam merupakan pulau dengan pelabuhan yang sibuk arus manusia dan barang. Menurut Sri, sekitar 63 persen penduduk Batam bekerja di sektor formal perusahaan.
"Mohon maaf, orang kan kadang-kadang pekerja-pekerja itu enggak bawa istri, enggak bawa anak. Dan itu konsentrasinya yang seperti itu (pergaulan bebas) adalah di perusahaan-perusahaan. Ya industri elektronik, galangan kapal dan lain-lain," kata Sri Rupiati yang ditemui usai diskusi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Hotel Harmoni, Batam, Kamis (21/4).
Dia mengungkapkan, ada 641 kasus baru HIV-AIDS di Batam pada 2015. Itu merupakan yang tertinggi sejak HIV-AIDS pertama kali ditemukan di Batam pada 1992 silam. Secara kumulatif, ada 4.364 kasus HIV positif sejak tahun 1992. Adapun kasus AIDS, secara kumulatif ada 1.775 kejadian sejak 1992.
Namun, menurut Sri, dalam beberapa tahun terakhir kesadaran masyarakat Batam akan bahaya HIV-AIDS meningkat. Ini lantaran Dinas Kesehatan Batam menerapkan langkah-langkah penjaringan potensi pengidap HIV-AIDS di titik-titik konsentrasi kelompok berisiko.
Pada periode 1990-an, Dinas Kesehatan hanya menyasar kelompok pekerja seks komersial (PSK) dan kelompok waria. Namun, belakangan kelompok pelanggan PSK, ibu rumah tangga, dan remaja ikut didekati untuk diberikan penyuluhan.
Dinas Kesehatan Batam juga gencar bekerja sama dengan komunitas-komunitas peduli orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Bahkan, kelompok yang terkena HIV juga tak ragu untuk dijadikan penyuluh.
Ini penting dalam mengedukasi masyarakat. Sri menuturkan, sebelumnya masyarakat begitu antipati terhadap pengidap HIV positif. Bahkan, kenang Sri, pernah ada seorang istri yang ditelantarkan suaminya lantaran mengidap HIV. Suami itu bahkan melarang anak-anaknya menyentuh ibu mereka sendiri.
Kini, tempat-tempat konseling di tiga rumah sakit dalam setahun bisa ada ratusan kunjungan. Masyarakat menjadi lebih sadar bahaya HIV-AIDS dan paham memperlakukan ODHA secara baik. ODHA juga didorong untuk tak menjadi tertutup.
"Jadi kita jaring, temukan, kita obatin. Dan sekarang di Batam ini orang kalau mau menikah, telepon. Bu, kami mau menikah, kami mau tes HIV. Iya, ada kesadaran, tingkat pengetahuan masyarakat. Jadi karena kita mitra (dengan ODHA)," kata dia.
Usia harapan hidup warga Batam pengidap AIDS pun, kata Sri, menjadi lebih panjang. Pada periode 1992-1996, usia harapan hidup itu hanya lima tahun setelah yang ebrsangkutan divonis mengidap. Kini, usia harapan hidup bisa mencapai 15 tahun.
"Dan itu jadi bukti yang membantah bahwa kalau sudah HIV, matilah. Lah ini bisa produktif! Dia juga bisa lho berbagi (menjadi konselor) walau sakit," kata Sri.
Sadar bahwa pergaulan bebas masih cukup banyak di Batam, Sri membuat siasat agar mereka yang terlibat di dalamnya bersikap terbuka akan pencegahan HIV-AIDS.
"Saya bikin di situ ATM kondom. Ada ATM kondom, masuk (uang), keluar kondom," tukas dia. Bagaimana kita mau mengobati kalau kita enggak dekatin mereka? Saya masuk ke kamar-kamar PSK, ngobrol. Dengan germo juga kita kawanin.”
"Hanya saja, tegas. Anak-anak enggak boleh masuk (lokasi PSK). Kalau masuk, saya panggil RT, Satpol PP. Kan kita sudah komitmen," kata Sri.