REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Basuki T Purnama (Ahok) kerap melibatkan aparat TNI dan Polri dalam memuluskan program penggusuran di sejumlah kawasan di Jakarta. Masyarakat pun menganggap cara tersebut sebagai bentuk kearoganan Ahok dalam menjalankan roda pemerintahan daerah.
"Ahok sepertinya tidak berani menemui masyarakatnya sendiri untuk berdialog, sehingga lebih memilih berlindung di belakang TNI dan Polri. Itu jadi bukti kalau dia (Ahok) memang arogan," ujar tokoh masyarakat Luar Batang, Mansur Amin, saat berbincang dengan Republika.co.id, Senin (25/4).
Ia menuturkan, aparat TNI dan Polri seharusnya sadar, mereka dihidupi dari uang rakyat. Oleh karenanya, alangkah tidak elok jika kemudian tentara dan polisi dikerahkan untuk melawan rakyat.
Mansur mengungkapkan, masyarakat Kampung Luar Batang pada dasarnya hanyalah kumpulan rakyat kecil yang ingin hidup dengan tenang dan damai. “Kami ini tidak pernah mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Kami cuma membela tanah tempat tinggal kami dari upaya penggusuran yang dipaksakan,” kata Mansur.
Mansur mengingatkan, Pemprov DKI Jakarta seharusnya memerhatikan aspek-aspek kemanusiaan dalam menjalankan kebijakan penataan kawasan di Ibu Kota. Menurut dia, pelibatan aparat TNI dan Polri dalam kebijakan tersebut hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Sebelum penggusuran Pasar Ikan, TNI dan Polri juga dikerahkan dalam penertiban Kalijodo. Tentunya nanti masyarakat jadi bertanya-tanya, dibayar berapa tentara dan polisi oleh Pemprov DKI sehingga mau dilibatkan dalam pekerjaan semacam itu?”
Gubernur Ahok sebelumnya menegaskan akan menggusur wilayah Luar Batang dalam waktu dekat. Ia memperkirakan kebijakan itu mulai dilakukan pada Mei mendatang. Menurut Ahok, hingga saat ini penggusuran di kawasan tersebut terpakasa ditunda lantaran belum tersedianya rumah susun (rusun) untuk menampung warga yang bakal direlokasi akibat program tersebut.
Baca juga, Sindir Ahok Soal Reklamasi, Menteri Susi: Pikirkan Dampak Lingkungan Terlebih Dulu.