REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ahmad Yani Basuki menilai, perlu ada aturan baru agar konten kekerasan di dalam gim daring (game online) bisa disensor. Dia menjelaskan, kewenangan LSF dibatasi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Meskipun begitu, dia menegaskan, konten negatif dalam tayangan gim daring harus diantisipasi. LSF bisa ikut terlibat dalam upaya itu bila sudah ada payung hukum yang jelas.
“Yang pasti, hal-hal yang mengganggu atau bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, harus ada rambu-rambunya. Oleh karena itu, ya kita paham, perkembangan teknologi selalu menuntut antisipasi tentang munculnya aturan baru,” kata Ahmad saat dihubungi, Rabu (27/4).
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah merilis informasi mengenai 15 gim daring yang membahayakan mental anak-anak. Itu menurut penelitian Iowa State University, Amerika Serikat.
Permainan-permainan itu antara lain, World of Warcraft, Grand Theft Auto (GTA), Call of Duty, Point Blank, dan Counter Strike. Seluruhnya merupakan produk asing yang masuk ke Indonesia.
Menurut Ahmad, dibandingkan dengan gim daring, film merupakan karya seni. Agar sebuah film bisa tayang di tengah publik Indonesia, film tersebut harus mendapatkan surat lulus sensor LSF.
Bila kemudian LSF diberi wewenang untuk menyensor gim daring, kata Ahmad, pihaknya belum merumuskan teknis pelaksanaannya.
“Itu memang belum dirumuskan undang-undangnya. Saya kira, kalau memang itu seperti apa nanti dirumuskannya? Dan masuk pada UU mana. Karena, film itu sendiri ada batasannya,” ujar dia.