REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Renaldi, Wandi, dan Wawan merupakan tiga dari 10 orang yang menjadi tawanan dari kelompok milisi Abu Sayyaf. Tak ada yang menyangka dan tidak ada firasat apa pun dari mereka bertiga soal kejadian ini. Satu bulan penuh harus berada dalam kondisi yang tidak tahu kejelasan. Satu bulan berada di dalam hutan, satu bulan jauh dari pelukan hangat Tanah Air.
Renaldi merupakan salah satu juru mudi di Kapal Brahma 12 yang pada Sabtu 26 Maret 2016 harus menepi dan ditawan oleh kelompok sempalan Abu Sayyaf. Renaldi tak tahu persis seperti apa kejadiannya, hari itu malam, dan semua tampak berlangsung secara cepat.
Ia sempat tercekat ketika mencoba menceritakan kembali kejadian itu, tetapi ia mengatakan dirinya sangat lega bisa kembali ke Tanah Air dan selamat dari ancaman para kelompok sempalan Abu Sayyaf tersebut.
Renaldi mengaku tak tahu persis tempat pertama kali ia bersandar ketika pihak kelompok Abu Sayyaf menangkap mereka bersepuluh. Semua berbicara dengan logat yang asing, hanya beberapa dari mereka masih sedikit bisa berbicara menggunakan bahasa Melayu.
“Saya Bugis, Pak, saya tak tahu,” ujar Renaldi pada salah satu orang yang menawannya. Renaldi mengaku tak bisa melihat jelas siapa yang menawannya dan berapa puluh orang yang mencoba membawa mereka. Semua tampak berperawakan besar, memakai topeng, dan kebanyakan dari mereka membawa senjata laras panjang.
Renaldi mengaku merasa takut dan pasrah atas kejadian yang menimpanya. Ia hanya bisa melantunkan doa dan memohon perlindungan kepada Tuhan. Renaldi lega, sekitar tiga hari setelah ditawan, pihak penawan tampak tak melakukan ancaman kekerasan kepada mereka.
“Enggak dipukul. Mereka bilang dari awal, kalau kami tidak lawan, kami dilepas, kami tidak diikat. Kami nurut saja karena kami juga enggak tahu di mana kami berada,” ujar Renaldi.
Renaldi tak bisa mengenali satu per satu dari mereka. Namun, yang sangat jelas ia paham, dari beberapa orang tersebut membawa senjata laras panjang berjenis M-14 dan M-16. Namun, mereka tak pernah sekali pun menodongkan senjatanya kepada Renaldi dan kawan kawan.
Sebulan dalam masa tahanan sempat membuat Wandi sang juru koki kapal tampak masih linglung. Ia tak banyak berujar, apa yang diceritakan Renaldi kurang lebih sama seperti apa yang ia alami. Ia hanya mengatakan, setiap malam mereka dan para penawan selalu berjalan dan berpindah pindah tempat menyusuri hutan.
“Kami jalan terus menyusuri hutan, cuma kadang kita diam di satu tempat, entah di pondok, entah di hutan,” ujar Wandi.
Wandi pun mengatakan, mereka mencoba tak pernah melakukan tekanan kepada para tawanan. Para tawanan diberi makan oleh para penawan dari Abu Sayyaf. “Apa yang mereka makan, mereka kasih ke kami,” ujar Wandi
Tak ada komunikasi yang bisa mereka jalin. Beberapa kali Wandi sudah mencoba mengajak bicara seperti, ''Kami akan ke mana dan akan dibawa ke mana.'' Namun, mereka lebih memilih membisu. Dari puluhan orang yang pertama kali menawan, sisanya tinggal dua orang. Banyak di antara mereka kemudian berdiam di satu tempat atau berpisah. Namun, yang pasti dalam setiap penjagaan selau ada satu hingga dua orang yang bergantian menjaga kesepuluh WNI ini.
“Kami makan daun, nasi, apa yang mereka makan kami makan. Mereka tidur di tanah, kami tidur di tanah,” ujar Wawan, salah satu ABK, menceritakan proses selama penyanderaan.
Wawan, Renaldi, dan Wandi mengaku tak pernah sekali pun melihat sosok Abu Sayyaf. Siapa dan seperti apa bentuk Abu Sayyaf, mereka tak pernah tahu. Mereka sangat dibatasi dalam berkomunikasi dan tidak dipersilakan untuk melakukan pertanyaan dan diskusi.
Namun, Wawan mengatakan, selama ini perilaku mereka baik kepada 10 ABK. Tak ada yang dibedakan.
“Di hutan. Kami enggak tahu di mana. Tidak tetap, berpindah-pindah, dan bergerak malam. Mereka berpindah untuk keselamatan kita. Soalnya kita juga diserang oleh laskar Filipina, jadi kami selalu dilindungi sama mereka. Kami bahagia selamat pulang ke Indonesia,” ujar Wawan.
Ketiganya juga tak pernah tahu siapa yang akhirnya membawa mereka kembali keluar dari Hutan. Namun, saat dua hari sebelum mereka keluar dari Hutan, orang-orang tersebut sempat mengatakan untuk berhati-hati dan mengucapkan selamat tinggal.
Mereka bersepuluh langsung diserahkan ke orang yang juga tak mereka kenal. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan kelompok para penahan tersebut. Setelah itu, mereka semua memasuki sebuah mobil dan melaju menuju kota.
Wawan, Renaldi, Wandi, dan tujuh ABK lainnya hanya bisa termangu melihat jalanan dan tak lagi hanya sekadar melihat hutan. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat itu, ujar Wawan. Namun, ia mengaku akhirnya bisa bernapas lega karena mereka ternyata diantar menuju ke rumah gubernur. “Kami ketemu Gubernur, kami lega, enggak bisa digambarkan bagaimana perasaan saat itu,” ujar Wandi.