REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil pertemuan trilateral antara Pemerintah Indonesia, Filipina, dan Malaysia yang menghasilkan empat poin merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai meski tidak akan memperkecil bahkan menumpas habis penculikan. Hal ini menurut Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, karena aksi penculikan berada di wilayah kedaulatan Filipina meski secara de fakto dikuasai pemberontak.
Sehingga kerja sama tidak mungkin memasuki wilayah Filipina termasuk laut teritorialnya. Kedua, WNI sebenarnya bukan tujuan utama penyanderaan. Dalam kasus 10 sandera sebenarnya yang menjadi target adalah orang kaya tertentu. Bahkan tidak semua sandera adalah anak buah kapal karena ada misionaris bahkan turis.
Ketiga, katanya lagi, pertemuan tersebut tidak mengikutsertakan negara lain yang warga negaranya (turut) disandera. "Padahal, penyanderaan kan tidak hanya warga dari tiga negara ini saja. Ini seolah menegaskan peran negara lain yang warganya menjadi sandera,' ujar Hikmahanto dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Kamis (5/5).
Keempat SOP yang akan dibuat antarpanglima harus hati-hati mengingat Filipina terkendala dengan konstitusi yang melarang kekuatan militer asing di negaranya. Jangan sampai peran militer Indonesia yang terlibat dalam patroli bersama ditafsirkan pelanggaran konstitusi oleh rakyat Filipina.
Disamping itu, ujar Hikmahanto mengingatkan, jangan sampai ada kesan dari pemberontak bahwa peran militer Indonesia dalam patroli bersama berpihak pada militer Filipina dalam menyerang mereka. Perlu diingat, pembebasan 10 sandera kemarin karena pemberontak sangat menghormati posisi Indonesia yang tidak menggunakan kekuatan militer. " Dan itu sangat membantu mereka dalam proses perdamaian tanpa penggunaan kekerasan,".
- baca: Jokowi: Pertemuan Yogyakarta untuk Rumuskan Patroli Bersama