REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu suku, agam, ras, dan antargolongan (SARA) mewarnai ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Meski berpotensi menimbulkan perpecahan, isu SARA ternyata memiliki hal positif.
"Ada dampak lain pada politik identitas, yakni berkurangnya money politic (politik uang)," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ahmad Najib Burhani dalam diskusi bertema 'Potensi Konflik Sosial Menjelang Pilkada DKI 2017' di Jakarta, Selasa (10/5).
Menurut dia, potensi politik uang akan terus menurun ketika politik etnis dan agama menguat. Saat ini banyak imbauan agar para bakal calon gubernur DKI mengedepankan kampanye sejuk dan tidak mengandung isu SARA.
Ini, kata dia, merupakan sesuatu yang bersifat normatif. Najib sendiri ragu kampanye tanpa isu SARA akan terwujud. Pasalnya seringkali isu sensitif ini bukan disebarluaskan oleh bakal calon dan tim, melainkan oleh individu pendukung calon melalui media sosial.
Isu-isu SARA seringkali masih digunakan oleh masyarakat Indonesia, seolah telah menjadi frame berpikir masyarakat Indonesia. Dalam pasal 26 UUD Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia (WNI) adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai WNI.
Namun, masyarakat Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya etnis Cina bisa disebut sebagai orang Indonesia asli. Ini sesuatu yang berangkat pada paradigma, ketika orang Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yakni Indonesia asli, peranakan Cina, dan peranakan Eropa.
Najib mengatakan meski masyarakat DKI cukup dewasa menghadapi isu SARA, namun potensi perpecahan akibat isu tersebut tetap ada. Apabila mengacu pada studi konflik, maka ada hal yang perlu dilakukan untuk mencegah perpecahan itu terjadi. Masyarakat sipil bisa mencegahnya.
"Misalnya lewat kekuatan sekelompok masyarakat untuk mengupayakan pencegahan terhadap berbagai isu yang bisa menyebabkan konflik," ujar Najib.