REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah menggodok peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pemberatan hukuman kekerasan seksual. Kebiri merupakan salah satu alternatif dari bentuk pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak-anak. Namun, Lembaga Swadaya Masyarakat Nurani Perempuan Women's Crisis Center (WCC) Sumatra Barat (Sumbar), pesimistis hukuman kebiri mampu melindungi korban kejahatan seksual dari pelaku atau pemerkosa.
"Hukuman kebiri, dipilih pemerintah sebagai pemberatan dan tambahan hukuman. Hukuman kebiri disadari, tidak dapat memberikan kepastian bahwa pelaku tak akan melakukan perkosaan lagi," kata Ketua WCC Nurani Perempuan, Yefri Heriani kepada Republika.co.id, Sabtu (14/5).
Ia beralasan, kebiri tidak dapat mengontrol libido. Sehingga, pelaku masih dapat melakukan pemerkosaan atau berbagai kekerasan seksual, menggunakan alat atau media selain kelamin. Selain itu, Yefri menganggap, hukuman kebiri merupakan penghukuman yang melanggar konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam.
"Tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, yang telah diratifikasi Indonesia sejak 1998," ujarnya.
Ia mengingatkan, fakta yang ada saat ini menunjukkan, banyak pelaku kekerasan seksual yang berusia anak. Sehingga, ia menilai, butuh penghukuman tambahan atau pemberatan untuk terjadinya perubahan perilaku agar tidak terulang. Selain itu, Yefri menyarankan, negara harus menyediakan layanan berkonsultasi perubahan perilaku bagi pelaku kejahatan seksual.