REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi berpendapat, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang akan mengatur tentang sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual (Perppu Kebiri) bermasalah secara materiil maupun formil. Sebab, menurutnya Perpu tersebut berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.
Secara substansi, Perpu kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual.
"Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang dengan mengebiri pelaku," ucap Fajri di Jakarta, Ahad (15/5).
Bahkan, di Negara Bagian California di Amerika Serikat, kata Fajri, kebijakan sanksi kebiri atas pelaku kekerasan seksual mendapat kecaman setelah berjalan selama 20 tahun. Kritik terhadap sanksi kebiri didasari oleh beragam alasan.
Hal itu mulai dari pemberlakuannya yang tidak membedakan usia pelaku dari anak sampai dewasa, hingga tidak efektifnya sanksi karena hanya akan berdampak pada pelaku yang sudah melakukan kekerasan seksual, bukan pada calon pelaku yang justru perbuatannya harus mampu dicegah.
Sementara itu, secara formil, pemilihan bentuk Perppu tidak didasari pertimbangan yang kuat akan pemenuhan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa, yang menjadi syarat pembentukan Perppu oleh Presiden. Bentuk Perppu untuk sanksi kebiri dipilih hanya karena ingin peraturan segera berlaku, yang justru mengenyampingkan prinsip demokrasi dalam pembentukannya.
"Logika itu minim pertanggungjawaban karena Perppu hanya disusun sepihak oleh Pemerintah, sementara pengaturan yang akan mengikat seluruh warga negara dengan membatasi HAM seharusnya dibahas bersama DPR," kata Fajri.
Selain itu, keputusan untuk memilih bentuk peraturan tidaklah hanya didasarkan pada durasi proses pembentukan, tetapi juga harus memikirkan seberapa jauh peraturan itu memberikan solusi atas permasalahan. Pembentukan Undang-undang (UU), dalam praktiknya, dapat diselesaikan dengan relatif cepat untuk segera diberlakukan.
Baca juga: Kebiri Dinilai tak Cukup Ampuh Lindungi Korban dari Kejahatan Seksual