REPUBLIKA.CO.ID, NAY PI DAW--Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry akan menyambut reformasi demokrasi di Myanmar dan menggarisbawahi kebutuhan untuk lebih banyak perubahan termasuk tentang HAM. Hal itu diungkapkan Kerry selama kunjungannya yang pertama sejak pemerintah Myanmar terbentuk dari pemilihan demokratis, Ahad (22/5).
"Kami sedang mencari cara baru untk mendukung pemerintahan baru ini," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri yang bepergian dengan Kerry.
Pekan lalu, pemerintahan Presiden Barack Obama meredakan sanksi ekonomi dan keuangan terhadap Myanmar. Hal ini juga mengangkat beberapa pembatasan perdagangan untuk meredakan kekhawatiran perusahaan AS melakukan bisnis di Myanmar.
Lebih dari 100 individu dan kelompok di Washington tetap menginginkan sanksi untuk Myanmar. "Untuk saat ini kita harus menerima kenyataan bahwa ada beberapa indivisu dan badan dalam negeri yang tidak sepenuhnya mendukung transisi untuk demokrasi," kata pejabat itu.
Selain itu, AS juga akan mendorong militer di Burma sebagai langkah-langkah melanjutkan peran dan konsolidasi demokrasi yang dirancang membantu reformasi demokrasi tambahan.
AS telah mendukung peran Suu Kyi dalam memperjuangkan perubahan demokratis di Myanmar. Tapi terkejut bulan ini ketika pemerntah itu menyarankan untuk Duta Besar AS yang baru Scott Marciel menahan diri menggunakan istilah Rohingya untuk minoritas Muslim dianiaya.
Marciel mengatakan, ia akan tetap menggunakan istilah Rohingya karena kebijakan Washington untuk melakukannya.
Saat ditanya apakah Kerry akan menaikkan komentar Suu Kyi dalam pertemuan mereka, pejabat itu menambahkan, "Saya pikir aman untuk mengatakan sejumlah konflik-konflik yang sedang berlangsug spesifik dan situasi yang belum terselesaikan akan dibahas,".
Anggota kelompok 1,1 juta orang ini sebagian besar hidup dalam kondisi apartheid. Bagi banyak umat Bussha Myanmar, mereka adalah imigran ilegal dari Bangladesh, Istilah inilah yang memecah belah.
Berbicara untuk kelompok akan membawa kerugian politik bagi Suu Kyi. Kelompok ini secara luas tidak disukai di Mayanmar, termasuk oleh beberapa di partai Suu Kyi dan pendukungnya.
Sekitar 125 ribu Rohingya masih mengungsi dan menghadapi pembataan perjalanan yang berat di kamp-kamp sejak pertempuran meletus di negara bagian Rakhine antara umat Buddha dan Muslim pada 2012. Ribuan orang telah melarikan diri dari penganiayaan dan kemiskinan.