Jumat 27 May 2016 14:40 WIB

7 Kali Ganti Presiden, Masalah Rokok tak Juga Selesai

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Achmad Syalaby
Mahasiswa tergabung dalam Gerakan Bersama Lawan Industri Rokok (Gebrak) melakukan aksi penolakan World Tobacco Process And Machinery (WTPM) di Jiexpo, Jakarta, Rabu (27/4).Republika/Tahta Aidilla
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Mahasiswa tergabung dalam Gerakan Bersama Lawan Industri Rokok (Gebrak) melakukan aksi penolakan World Tobacco Process And Machinery (WTPM) di Jiexpo, Jakarta, Rabu (27/4).Republika/Tahta Aidilla

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah pencegahan dan penanggulangan rokok tak kunjung usai di Indonesia. Produksi rokok terus berjalan sampai detik ini meski tujuh kali berganti presiden.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, perokok berusia 15 tahun ke atas cenderung terus meningkat. Semula dari 34,2 persen pada 2007 menjadi 36,3 persen pada 2013. Kondisi ini merata di seluruh provinsi di Indonesia.

“Kita sudah tujuh kali ganti presiden loh, tapi masalah ini belum terselesaikan. Perusahaan-perusahaan rokok masih tetap berproduksi hingga sekarang,” kata Aktivis Penanggulangan Masalah Rokok dari Komnas Pengendalian Tembakau saat “Peluncuran Iklan Layanan Masyarakat Pengendalian Rokok” Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di Hotel JW Marriot, Jakarta, Jumat (27/5).

Fuad mengatakan, penanggulangan bahaya merokok harus segera diterapkan di Indonesia. Terlebih untuk penyelamatan generasi muda yang jumlah perokoknya semakin meningkat. 

Iklan rokok merupakan salah satu penyebab meningkatnya jumlah perokok muda di Indonesia. Namun sayangnya, iklan rokok di Indonesia masih tampil bebas di televisi dan di beberapa ruang publik lainnya. Padahal seluruh dunia sudah jelas-jelas telah memegang aturan tentang pelarangan iklan rokok. “Kenapa Indonesia tidak? Memangnya negara luar yang sudah terapkan ini bodoh semua?” tegas Fuad.

Selain iklan, bimbingan dan didikan orangtua dan lingkungan juga jadi faktor penyebab perokok. Menurut dia, hampir sebagian anak yang merokok akibat meniru lingkungannya. Salah satu contohnya adalah bayi 11 bulan yang sempat ramai diperbincangkan karena sudah merokok. Hal seperti ini jelas bukan karena iklan tapi pembiaran orangtua yang mungkin menganggap candaan pada awalnya.

Atas situasi ini, Fuad mengungkapkan, empat upaya yang perlu ditekankan pemerintah. Hal-hal tersebut seperti  bea cukai dinaikkan, pembatasan iklan rokok, perluasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan edukasi ke masyarakat. Dia mengaku sudah ada beberapa kota yang memiliki KTR tapi kurang maksimal penerapannya. “Yang pelosok apalagi,” jelasnya.

Mengenai masalah iklan, dia mengatakan, Indonesia sepatutnya mengikuti aturan pemerintah Australia dalam menekan jumlah perokok. Cara plain packaging ini terbukti telah mampu menurunkan jumlah perokok di negeri itu. Bahkan, aturan ini sempat digugat para perusahaan rokok yang akhirnya dimenangkan oleh pemerintah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement