REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI meminta PT Pertamina melakukan inventarisasi dan penindakan tegas kepada pengelola stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang melakukan pelanggaran takaran. Ironisnya, temuan kasus nakal SPBU ini oleh pihak penegak hukum, bukan oleh PT Pertamina.
“Dengan kejadian ini, Pertamina harus memberikan perhatian serius dan lebih jeli lagi mengenali, memantau dan menindak praktik-praktik kecurangan di SPBU,” ujar anggota DPR RI Komisi VII Rofi Munawar, baru-baru ini.
Kecurangan takaran merupakan praktik yang sering didapati di SPBU. Pasalnya karakteristik transaksinya berlangsung cepat karena pengaruh psikologis antrean dan juga modus kecurangannya yang rumit.
Berbeda dengan kasus sebelumnya, kali ini modus yang dipakai lebih canggih, yaitu menggunakan alat pengendali jarak jauh. Polisi saja memerlukan waktu sebulan untuk memantau dan menangkap tangan pelaku kejahatan ini.
Rofi mengatakan temuan dan keluhan mengenai prilaku SPBU ‘nakal’ secara faktual sudah sering kali terjadi. Sayangnya, penindakan yang ada belum sepenuhnya memberikan efek jera.
Kejadian ini tentu saja menjadi catatan penting bagi PT Pertamina terhadap perbaikan standard operation procedure(SOP) dan pengawasan seluruh SPBU. Menurut dia, akhir-akhir ini masyarakat juga sering menemukan kurang baiknya pelayanan petugas dan antrean panjang konsumen dalam mendapatkan bahan bakar minyak (BBM).
Seperti diberitakan sebelumnya, pada Kamis (2/6) polisi menangkap tiga pengelola dan dua karyawan SPBU Pertamina, Jalan Raya Veteran, Rempoa, Bintaro, Jakarta Selatan yang melakukan kecurangan. Dari aktivitas tersebut diprediksi mereka meraup untung Rp 2,1 miliar dalam kurun waktu satu tahun.
Pelaku menggunakan alat digital regulator stabilizer merek Bostech. Alat ini dipasang di dalam dispenser untuk memengaruhi daya arus listrik yang mengalir dari dispenser BBM.