REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh beberapa bank konvensional nyatanya belum mampu menyejahterakan rakyat hingga ke pelosok desa.
"Saya mengkritik KUR. Katanya sampai Rp 90 triliun, tetapi ketika saya balik kampung, tidak ada yang dapat KUR. KUR itu gagal sejahterakan rakyat," kata Ketua PBNU Said Aqil Siroj pada penandatanganan nota kesepahaman dengan Muamalat di Gedung PBNU Jakarta, Senin (13/6).
Said mengatakan program KUR seharusnya dapat membantu masyarakat yang sedang mengembangkan usaha mikro, namun adanya kendala terhadap biaya ongkos yang mahal membuat penyaluran dana menjadi terhambat. Ia menjelaskan PT Bank Rakyat Indonesia sebagai bank yang dinobatkan bank terbaik pendukung usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu, seharusnya dapat bekerja sama dengan NU dalam penyaluran KUR.
"KUR-nya tidak ada karena ternyata ongkos ke desa itu mahal. Kenapa tidak ajak NU? Kalau kerja sama dengan NU pasti sudah sampai. Kami bisa salurkan sampai ke tingkat bawah," ujar Said.
Ia pun menilai sistem penyaluran KUR untuk masyarakat yang sudah mampu saja dengan memiliki modal minimal sesuai persyaratan, bukan menyasar rakyat miskin yang ingin mengembangkan usaha.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin berpendapat bank berbasis syariah sebaiknya dapat berkontribusi menyalurkan KUR. Sejauh ini, hanya Bank BRI Syariah yang sudah memantapkan komitmennya dan menargetkan penyaluran KUR berjalan tahun ini setelah ada penetapan dari Kementerian Keuangan.
"Seharusnya bank-bank syariah besar bisa ikut menyalurkan. Paling tidak ada lima bank syariah agar KUR bisa berhasil membantu rakyat kecil," ujar Ma'ruf.