REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI dari FPKS Ahmad Zainuddin mengatakan, penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak patut dihormati. Sebab itu merupakan hak mereka. Meskipun sebenarnya keputusan itu disayangkan.
Zainuddin menilai semangat Perppu yang diteken Presiden Joko Widodo disebabkan ada kegentingan situasi di masyarakat terkait keselamatan anak. "Namun pada sisi lain dokter yang diharapkan dengan kewenangannya dapat menjadi pelaksana Perppu tersebut terbentur kode etik kedokteran," katanya Selasa, (14/6).
Menurut dia, Perppu seharusnya perlu mengatur lebih tegas hal-hal yang mengakibatkan munculnya pelecehan seksual. Antara lain miras, narkoba dan pornografi. Kebanyakan penyebab terjadinya kekerasan seksual pelakunya mengonsumsi miras, narkoba, kemudian hilang akal. Melihat pornografi lalu memperkosa, peristiwa seperti ini sering terjadi maka hal-hal yang menyebabkan kekerasan seksual ini harus diatur untuk pencegahan.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ini langkah yang baik.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik. Diharapkan pemerintah mempertega eksekutor hukuman kebirinya.