Ahad 14 Jul 2024 09:20 WIB

Dokter Helmiyadi Meninggal Kena Serangan Jantung Saat Bertugas, IDI Beri Penghargaan

Dr Helmiyadi merupakan medical influencer yang rajin memberikan edukasi.

Dokter Helmiyadi Kuswardhana, M.Kes, SpOT, FICS, AIFO-K.
Foto: Dok. Instagram/dr.helmiyadi_hk
Dokter Helmiyadi Kuswardhana, M.Kes, SpOT, FICS, AIFO-K.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyampaikan dukacita atas berpulangnya dr Helmiyadi Kuswardhana, M.Kes, SpOT, FICS, AIFO-K saat bertugas di RSUD Sulawesi Barat, Mamuju. Dr Helmiyadi meninggal karena serangan jantung pada akhir pekan lalu ketika menjadi dokter bedah ortopedi di Mamuju, Sulawesi Barat.

Dr Helmiyadi merupakan anggota dari IDI Cabang Mamuju dan Pengurus dari IDI Wilayah Sulawesi Barat. Dr Helmiyadi juga merupakan bagian dari Medical Influencer PB IDI dan Perhimpunan Ahli Bedah Ortopedi Indonesia (PABOI) yang rajin memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat melalui media sosialnya.

Baca Juga

PB IDI memberikan penghargaan Lencana Karya Bakti dan sekaligus mengusulkan kepada pemerintah untuk juga bisa memberikan penghargaan kepada dr Helmi. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia DR Dr Moh Adib Khumaidi, SpOT, mengatakan PB IDI juga menyampaikan penghormatan setinggi-tingginya kepada dr Helmiyadi SpOT dan para dokter yang tanpa pamrih yang telah melakukan pengorbanan terbesar dalam menjalankan tugasnya, mendedikasikan hidup mereka untuk menyelamatkan orang lain.

"Kami menghormati pengabdian profesi yang mereka jalankan dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas komitmen teguh mereka dalam menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia, dengan segala keterbatasan yang dialami, Keberanian, kasih sayang, dan dedikasi mereka terhadap pasien tidak akan pernah terlupakan, dan Semoga akan banyak muncul dokter Helmi yang lain untuk melanjutkan perjuangan dan pengabdiannya di daerah,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id pada Ahad (14/72024).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio dokter per pasien yang masih rendah di dunia yakni 0,4 dokter per 1.000 penduduk. PB IDI menyoroti, salah satu permasalahan utama dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia adalah ketimpangan distribusi dokter dikarenakan banyak dokter yang terkonsentrasi di daerah perkotaan, sehingga masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan yang dibutuhkan. Hal ini ditambah lagi dengan kurangnya ketersediaan peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur yang tidak memadai.

Distribusi dokter dan sumber daya yang tidak merata ini menghambat kemampuan negara untuk menyediakan layanan kesehatan yang berkualitas bagi warganya, khususnya di daerah pedesaan dan daerah yang kurang terlayani. “Ini bukan hanya soal angka; ini masalah nyawa - hidup dan mati. Kurangnya dokter di daerah-daerah tertentu menyebabkan banyak masyarakat Indonesia tidak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, dan ini adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita juga menghadapi kekurangan peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur. Fasilitas kesehatan di daerah pedesaan sering kali kekurangan peralatan dasar, sehingga dokter tidak dapat memberikan perawatan yang memadai. Dan dalam hal obat-obatan, banyak obat-obatan penting yang persediaannya terbatas, sehingga pasien tidak memiliki akses terhadap pengobatan yang mereka perlukan, selain itu Masalah kemampuan pembiayaan melalui JKN-BPJS juga masih belum memadai,” ujar dr Adib.

Adib mengatakan ketimpangan kemampuan pelayanan kesehatan juga disertai tidak meratanya infrastruktur. Banyak fasilitas kesehatan di daerah terutama pedesaan yang kekurangan fasilitas dasar, seperti air bersih, listrik, dan sanitasi. Hal ini juga akan berdampak pada pekerjaan pelayanan kesehatan yang tidak bisa optimal.

Ketersediaan alat kesehatan, sarana prasarana dan obat juga mempengaruhi kualitas dan kemampuan pelayanan kesehatan dasar di daerah. Konsekuensi dari semua ini menyebabkan pasien terpaksa melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan medis dan sering kali dengan biaya yang besar. Menurut dia, dalam beberapa kasus, pasien sudah dalam kondisi yang kronis dan terminal tanpa akses terhadap perawatan medis yang baik.

Dr Adib menyampaikan problema kesehatan ini bukan hanya masalah dan tanggung jawab pemerintah saja tetapi memerlukan peran penting semua komponen bangsa termasuk organisasi profesi, LSM, kelompok akademisi, swasta, media massa dan sosial, dan tentunya masyarakat sendiri sebagai garda terdepan agen perubahan transformasi kesehatan. Peningkatan jumlah dokter di daerah dapat dilakukan melalui beasiswa dan program insentif.

Selain itu pemerintah pusat dan daerah perlu berinvestasi pada peralatan medis, obat-obatan, dan infrastruktur, untuk memastikan bahwa rumah sakit dan fasilitas kesehatan di daerah tersebut memiliki sumber daya yang mereka perlukan untuk memberikan layanan berkualitas. Didukung juga kemampuan pembiayaan baik dari pemerintah pusat, daerah maupun melalui JKN -BPJS.

PB IDI mengingatkan akses terhadap layanan kesehatan berkualitas adalah hak asasi manusia yang mendasar dan setiap orang mempunyai akses terhadap perawatan medis yang mereka perlukan, di mana pun mereka tinggal. “Jadi mari kita semua saling bekerja sama untuk mengatasi masalah kritis ini," ujarnya.

Dia mengajak semua pihak bersama memperbaiki sistem layanan kesehatan kita, dan memastikan setiap orang Indonesia memiliki akses terhadap layanan medis yang berkualitas. "Kita bisa melakukan ini, dan kita harus melakukan ini. Kita harus 'total football' dalam upaya totalitas transformasi kesehatan. Masa depan negara kita bergantung pada masalah kesehatan dasar ini,” kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement