REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Implikasi Habibienomics dinilai cukup fleksibel dan mampu mewadahi grand fusion antara pertumbuhan, pemerataan, partisipasi, dan kepentingan nasional.
Ketua Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES), Umar Juoro menyebut, dampak penerapan Konsep Habibienomics tidak sekadar meluaskan pengembangan industri berteknologi canggih, tetapi dapat mencakup dimensi pemerataan pembangunan.
"Habibienomics adalah peningkatan keterampilan pekerja tidak saja dalam tingkatan insinyur, tetapi juga politeknik dan STM dan bahkan tingkat pendidikan yang lebih rendah lagi," katanya.
Habibienomics adalah ekonomi ala Bacharuddin Jusuf Habibie. Yaitu ekonomi yang menekankan soal nilai tambah, competitive advantage dan pengausaan teknologi tinggi dalam industri. (Ekonomi Ala Habibie Pukul Balik Krisis Moneter).
Kabinet Kerja di rezim Joko Widodo dinilai sangat relevan untuk menerapkan konsep tersebut. Terlebih saat ini Jokowi banyak memberi tekanan pada semua aspek pembangunan ekonomi. Namun akibat ingin merangkul segala hal, fokus pemerintah saat ini menjadi buyar.
Situasi diperparah dengan masih bergantungnya pendapatan negara di sektor sumber daya alam, pengembangan industri terhambat dan manufaktur melemah. Aplikasi konsep Habibienomics akan membantu pemerintah di masa kini agar lebih fokus mengembangkan industri padat karya dari keunggulan komparatifnya, lalu memberi prioritas pada industri tertentu.
"Sebetulnya Jokowi itu telah memulainya dengan memberi perhatian pada industri kreatif, penekanannya ke sumber daya manusia," ujarnya.
Pengertian keunggulan kompetitif, lanjut Juoro, adalah dinamika persaingan yang lebih ditentukan oleh produk dan proses baru karena inovasi teknologi, bukan semata-mata persaingan harga. Orientasinya lebih pada perdagangan antar produk manufaktur yang terdiferensiasi serta mengurangi ketergantungan pada perdagangan karena perbedaan negara dalam upah buruh dan sumber daya alam.