REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana menilai, pembatalan perda harus dilakukan secara hati-hati dan transparan. Apalagi terkait dengan pendidikan dan agama.
Pemerintah, kata dia, harus mengklarifikasi apakah perda yang dibatalkan tersebut bertentangan dengan kewenangan bidang pendidikan atau tidak. Misalnya apakah perda yang dibuat daerah tersebut melampaui kewenangannya atau tidak.
Menurut dia, Mendagri Tjahjo Kumolo harus menjelaskan duduk perkaranya, dan daerah pun harus diberi hak untuk menyampaikan keberatannya. ''Kalau ternyata pada prakteknya Perda tersebut lebih bermanfaat dalam menjaga aksesibilitas dan kualitas pendidikan, maka pembatalan adalah hal yang keliru,'' kata Dadang, saat dihubungi, Ahad (26/6).
Tetapi, lanjut dia, kalau Perda tersebut banyak memberatkan, maka wajar juga kalau dibatalkan. Artinya, kalau dari substansi itu yang dimaksud melampaui kewenangan, ketika ada substansi keagamaan yang dimasukan dan diatur daerah, maka itu bertentangan dengan undang-undang.
Karena, Dadang menuturkan, agama merupakan kewenangan pusat, bukan daerah. Maka, kalaupun daerah mau mengatur mengenai jilbab dan kewajiban membaca Al-quran bagi siswa yang beragama Islam, maka yang berwenang mengatur adalah pemerintah pusat, bukan daerah.
Sehingga, sering kali hal seperti ini disebut Perda yang diskriminatif. Karena pada dasarnya setiap perundang-undangan harus berlaku pada semua warga negara. Jangan sampai, perundangan-undangan hanya mengatur agama tertentu saja.
''Ini yang selau memunculkan beda pandangan. Tetapi, karena ini hal yang sensitif dan bisa jadi menimbulkan salah tafsir, maka mendagri harus menjelaskan secara terbuka,'' ujarnya.
Intinya, lanjut Dadang, Mendagri harus menjelaskan alasan yang jelas mengenai pembatalan dan memberikan kesempatan pada daerah untuk mengajukan keberatan.
(Baca Juga: DPR Pertanyakan Alasan Mendagri Cabut Perda Pendidikan)