REPUBLIKA.CO.ID, Kue-kue manis dan teh mint menjadi menu sarapan ketika Idul Fitri tiba di Swiss. "Biskuit-biskuit dibuat sehari sebelumnya," ungkap Dounia Rezki (22), muslimah Swiss, kepada Antara melalui surel.
Untuk melaksanakan shalat ied, kaum muslim yang menjadi minoritas di sana berkumpul di tempat lapang untuk shalat berjamaah.
"Karena masjid terlalu kecil, kami menyewa ruangan yang lebih besar," ungkap mahasiswi kedokteran yang tinggal di Jenewa itu.
Usai shalat ied berjamaah, ada perayaan di masjid dan permainan untuk anak-anak. Mereka juga mempunyai kebiasaan mengenakan baju baru dan kerap memberi hadiah untuk anak-anak kecil.
"Kami juga melukis tangan dengan henna," katanya.
Selama Ramadhan, aktivitas tetap berjalan seperti biasa tanpa ada penyesuaian jam kerja seperti kebiasaan di berbagai tempat di Indonesia.
Bulan suci di Swiss juga kerap diwarnai lomba-lomba keagamaan seperti kompetisi membaca Alquran untuk anak-anak, sedangkan setiap sore dan akhir pekan, tersedia kelas-kelas mengaji untuk anak dan orang dewasa.
Kaum muslim di Swiss berasal dari beragam latar belakang. Di Jenewa, ada muslim dari Maroko, Lebanon, Suriah, Somalia, hingga Turki. Setiap tempat punya makanan khas tersendiri yang dibawa untuk berbuka puasa bersama di masjid.
"Biasanya kami iftar (buka) dengan kurma dan leben (susu fermentasi)," kata Dounia. "Lalu, kami makan sup, orang Arab biasa makan sup dengan boreks (semacam samousa) atau maakouda (kroket kentang)."
Menu utama iftar yang disediakan mesjid biasanya nasi dengan ayam atau tajine (rebusan daging dan sayuran dengan bumbu Maroko).
Untuk sahur, menu sarapan kontinental seperti crepes, roti dengan teh jadi salah satu pilihan. "Semua tergantung dari mana kamu berasal," ujar dia.