REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Arbitrase Internasional memutuskan, Cina melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Cina dinilai telah melanggar kedaulatan Filipina di Zona Ekonomi Eksklusifnya dengan cara melakukan penangkapan ikan, eksplorasi minyak, membangun pulau buatan, dan tidak melarang nelayan Cina bekerja di zona tersebut.
Tapi, putusan Pengadilan itu diabaikan Cina. Negeri tirai bambu bahkan menggelar latihan militer di kawasan Laut Cina Selatan. Bahkan, Cina dikabarkan akan menempatkan personel militernya di Kepulauan Spratly kawasan Laut Cina Selatan.
Menurut Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia Andri W Kusumah, tindakan Cina melanggar kedaulatan Filipina merupakan bentuk pelanggaran HAM. "Batas berlakunya hukum international itu adalah souvereignity atau kedaulatan suatu negara, ini seperti yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah jelas pelanggaran hukum maupun HAM," kata Andri dalam keterangan persnya, Rabu (13/07).
Andri mengatakan, sikap Cina tersebut meniru jejak Israel dalam memecah belah kawasan Timur Tengah dan akan menerapkannya di kawasan Asia Tenggara. Selain faktor kekuatan Israel, baik dari segi ekonomi maupun militer, ada faktor lain soal Palestina, yakni tidak bersatunya negara-negara kawasan Timur Tengah dalam membela Palestina dan mendorong Israel untuk mematuhi resolusi DK PBB.
Andri menambahkan, Cina bukan saja berhasil mempropagandakan kekuatan militernya di kawasan asia tenggara. Tapi, Cina mampu secara riil memecah Asia Tenggara. "Di mana Laos dan juga Kamboja selalu berbeda pendapat apabila berbicara mengenai Laut Cina Selatan,'' ucap dia.
Menurut Andri, selama ini ASEAN memakai prinsip sentralitas dalam mengambil keputusan. Hal itu merupakan kekuatan Asean selama ini. Tapi secara taktis dapat dipudarkan oleh Cina melalui Laos dan Kamboja, karena memang secara riil Laos dan kamboja bukan negara maritim dan juga investasi Cina di kedua negara itu sangat besar.
Karena itu, Andri mengusulkan apapun hasil putusan Arbiterase antara Filipina dan Cina, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara harus mengambil peran lebih aktif. Paling tidak, mengubah sikap politik luar negeri Indonesia mengenai Laut Cina Selatan.
''Indonesia tidak perlu menyatakan diri kita sebagai claimant state, tapi cukup meningkatkan sedikit levelnya menjadi negara yang memiliki kepentingan,'' ujar dia.